uefau17.com

Gelapkan Pajak, Direktur PT GPS Dihukum 2 Tahun Penjara dan Denda Rp 40,7 Miliar - Bisnis

, Jakarta - Direktur PT GPS dengan inisial LIH mendapat hukuman 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp 40,7 miliar, Hukuman ini dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat kepada LIH karena terbukti menggelapkan pajak.

Kabid Pemeriksaan Penagihan Intelijen dan Penyidikan Kantor Wilayah Ditjen Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Barat Binsar Pangaribuan mengatakan, PT GPS adalah perusahaan yang bergerak di bidang penyiaran dan pemrograman televisi swasta. hakim menyatakan LIH yang merupakan Direktur PT GPS terbukti menggelapkan faktur pajak melalui PT GPS.

“Modus operandi yang dilakukan LIH adalah tidak menyetorkan sebagian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah dipungut dan menggunakan atau mengkreditkan faktur pajak tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya,” ungkap keterangan resmi DJP, dikutip dari Belasting, Minggu (18/9/2022).

Binsar menjelaskan, LIH melakukan tindak pidana dengan mengutak-katik faktur pajak dan tidak menyetor PPN ke negara selama 4 tahun. Itu terhitung sejak tahun 2010 hingga 2014.

Dia menyampaikan akibat perbuatannya, LIH diseret ke meja hijau dan menerima vonis dari hakim. Kini, LIH harus menjalani hukuman penjara dan membayar uang senilai Rp 40,7 miliar ke negara.

Binsar menyebutkan nilai Rp 40,7 miliar itu terdiri dari 2 jenis biaya. Pertama, LIH harus mengembalikan kerugian negara sebesar pokok pajak terutang, yaitu senilai Rp13,5 miliar.

Kedua, LIH harus membayar denda sebanyak dua kali pokok pajak terutang, sehingga nominal denda yang harus dibayarkan senilai Rp 27,1 miliar.

Adapun proses penyidikan atas PT GPS dilakukan sejak tahun 2019 dengan menerbitkan surat perintah penyidikan, dan tahun ini terdakwa yang merupakan direktur PT GPS divonis bersalah.

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Negara Sudah Kantongi Pajak Rp 1.028 Triliun per 31 Juli 2022

Kementerian Keuangan merilis, sampai 31 Juli 2022 kas negara telah terkumpul Rp 1.028,46 triliun. Artinya, penerimaan pajak tahun ini telah mencapai 69,26 persen dari target APBN dalam Perpres 98 tahun 2022 yakni Rp 1.485 triliun.

“Kalau kita lihat penerimaan negara ceritanya sangat positif. Ini sesuai dengan tadi adanya pemulihan ekonomi yang sangat impresif,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Jumat, (12/8).

Sri Mulyani merincikan sumber-sumber penerimaan pajak diantaranya PPh Non Migas sebesar Rp 595,0 triliun atau telah mencapai 79,4 persen dari target. Dari sumber PPN & PPnBM sebesar Rp 377,6 triliun atau telah mencapai 59,1 persen dari target.

Lalu dari PPh Migas sebesar Rp 49,2 triliun atau telah mencapai 76,1 persen target. Sedangkan dari pos PBB & Pajak Lainnya sebesar Rp 6,6 triliun atau mencapai 20,5 persen dari target.

Tingginya penerimaan pajak ini didorong oleh beberapa faktor, mulai dari tren peningkatan harga komoditas, pertumbuhan ekonomi yang ekspansif. Selain itu, basis penerimaan pajak tahun lalu yang masih rendah karena pemberian insentif fiskal.

Tak hanya itu, tingginya penerimaan pajak juga berkat Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang berlangsung pada Januari-Juni 2022. "Pertumbuhan yang sangat tinggi pada bulan Juni disebabkan oleh tingginya penerimaan dari PPS," kata dia.

 

3 dari 3 halaman

Realisasi Penerimaan Bea dan Cukai Mencapai Rp 185,1 Triliun

Selain dari pajak, kas negara juga terisi dari kepabeanan dan cukai. Per Juli 2022 penerimaan negara yang masuk telah mencapai Rp 185,1 triliun. Angka ini telah mencapai 61,9 persen dari yang ditargetkan pemerintah.

"Penerimaan bea dan cukai ini bahkan selama musim pandemi pun mereka memberikan kontribusi dan pertumbuhan yang relatif sangat stabil. Jadi sekarang ini pertumbuhannya 31,1 persen itu adalah pertumbuhan yang tetap tinggi dan luar biasa,” lanjut Sri Mulyani.

Bea Masuk tumbuh 31,5 persen yang didorong tren perbaikan kinerja impor nasional terutama sektor perdagangan dan sektor Industri. Cukai tumbuh 20,8 persen yang dipengaruhi efektivitas kebijakan tarif, lonjakan produksi bulan Maret (efek kenaikan tarif PPN) dan efektifitas pengawasan.

Sementara itu, pada pos Bea Keluar tumbuh 97,8 persen yang didorong tingginya harga komoditas, kenaikan tarif BK produk kelapa sawit, dan kebijakan Flush Out.

"Penerimaan bea cukai masih tumbuh, didorong tren positif bea masuk, resiliensinya performa cukai serta kinerja yang meyakinkan," kata dia.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat