uefau17.com

Sejarah Standar Kecantikan di Indonesia, Kenapa Harus Putih? - Hot

, Jakarta Pembahasan mengenai standar kecantikan bagi perempuan masih menjadi topik yang terus diperbincangkan di berbagai belahan dunia. Standar ini tidaklah seragam, melainkan bervariasi berdasarkan negara, daerah, bahkan zaman. Meski begitu, dalam era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, standar kecantikan pada perempuan sering kali berkutat pada konsep-konsep yang serupa kulit putih, tubuh tinggi semampai, dan rambut lurus.

Kulit putih adalah salah satu standar kecantikan di Indonesia sangat kuat dalam budaya dan industri kecantikan. Banyak produk pemutih kulit dijual dengan gencar, mengampanyekan bahwa perempuan yang cantik adalah perempuan yang memiliki kulit putih. Kampanye ini tidak hanya menggunakan teknik pemasaran biasa, tetapi juga teknik psikologis yang mendorong perempuan untuk membeli produk-produk tersebut demi mencapai standar kecantikan yang diidamkan.

Produk kecantikan ini sering kali memanfaatkan figur publik sebagai model, memperkuat persepsi bahwa kecantikan identik dengan kulit putih. Figur publik yang menjalani prosedur ini sering kali diidolakan, sehingga banyak penggemarnya ingin mengikuti jejak mereka untuk meraih tampilan yang dianggap ideal.

Berikut sejarah standar kecantikan di Indonesia yang identik dengan kulit putih dari masa ke masa, dirangkum rangkum dari berbagai sumber, Selasa (4/6/2024).

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Masa Kolonial (1900-1942)

Pada masa kolonial, sekitar tahun 1900-1942, perempuan Belanda atau perempuan dari ras kaukasia menjadi simbol kecantikan. Hal ini banyak dipengaruhi oleh iklan sabun Palmolive yang sering menampilkan sosok perempuan kaukasia di majalah Bintang Hindia pada tahun 1928. Iklan-iklan ini menggunakan teks-teks dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah, yang membuat perempuan Indonesia terpengaruh oleh visualisasi tersebut dan menganggap perempuan kaukasia sebagai standar kecantikan.

Masa Penjajahan Jepang (1943-1945)

Selama penjajahan Jepang, dari tahun 1943-1945, pemerintah Jepang berusaha mempromosikan perempuan Jepang sebagai standar kecantikan di Indonesia. Perempuan Jepang sering muncul dalam majalah seperti Poetri Nippon dan Djawa Baroe pada tahun 1943. Meskipun demikian, upaya ini kurang berhasil karena perempuan Eropa masih mendominasi dalam berbagai media, terutama dalam iklan kosmetik.

Pasca Kemerdekaan (1945-1965)

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, standar kecantikan mulai bergeser. Pada periode 1945-1965, perempuan dengan kulit terang atau kuning langsat menjadi ideal. Misalnya, pada iklan sabun tahun 1959, model yang digunakan adalah perempuan Indonesia dengan kulit terang, menandai perubahan dari pengaruh Eropa ke representasi lokal.

Era Orde Baru (1966-1998)

Pada era Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, standar kecantikan kembali bergeser ke perempuan Eropa. Periode ini ditandai dengan dominasi perempuan Eropa dalam iklan produk kecantikan. Model iklan produk-produk kecantikan pada masa ini sering kali adalah perempuan berkulit putih, mencerminkan standar kecantikan yang kembali ke gaya Eropa.

3 dari 4 halaman

Era Reformasi (1998-sekarang)

Sejak runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998 dan memasuki era reformasi, standar kecantikan di Indonesia menjadi lebih beragam. Perkembangan digitalisasi dan media sosial turut memperkaya standar kecantikan yang ada, memperkenalkan berbagai gaya dari Eropa, Jepang, hingga Korea. Di satu sisi, kecantikan ala Korea mendominasi dengan banyaknya artis Brand Ambassador, tren fashion, dan produk kosmetik asal Korea.

Perkembangan Stardar Kecantikan Modern

Meski standar kecantikan terus berkembang dan berubah, sekarang ada kesadaran yang lebih besar bahwa kecantikan tidak perlu terpaku pada satu standar tertentu. Media dan produk kecantikan mulai menampilkan keunikan perempuan dari berbagai latar belakang, termasuk warna kulit dan bentuk rambut yang berbeda. Iklan sampo, misalnya, kini menampilkan perempuan dengan berbagai gaya rambut, dan iklan sabun tidak lagi hanya menampilkan perempuan berkulit putih.

Kesadaran bahwa standar kecantikan tidak harus mengikat dan bisa merugikan kesehatan mental perempuan semakin meningkat. Insecurity sering muncul karena tekanan untuk memenuhi standar kecantikan tertentu, sehingga penting bagi media dan masyarakat untuk terus mendukung diversifikasi kecantikan. Inovasi media dalam menampilkan keragaman perempuan telah menjadi langkah positif menuju penerimaan diri yang lebih baik bagi banyak perempuan.

Dukungan antar sesama perempuan juga penting untuk menanggulangi dampak negatif dari standar kecantikan yang kaku. Solidaritas dan dukungan ini dapat membantu mengurangi tekanan yang dialami perempuan dan mendorong penerimaan diri yang lebih luas di masyarakat. Dalam era informasi yang serba cepat, dukungan ini menjadi semakin krusial untuk membentuk pandangan yang lebih inklusif dan positif mengenai kecantikan.

4 dari 4 halaman

Mengapa Putih Tetap Menjadi Standar Kecantikan Meskipun Zaman Telah Bergeser

Meskipun standar kecantikan terus berubah seiring dengan berjalannya waktu, kulit putih tetap menjadi standar utama di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Fenomena ini memiliki akar yang dalam dalam sejarah, budaya, dan dinamika sosial. Berikut adalah beberapa alasan mengapa kulit putih tetap menjadi standar kecantikan utama meskipun zaman telah bergeser.

Sejarah Kolonialisme dan Warisan Budaya

Sejak masa kolonial, kulit putih telah diasosiasikan dengan kekuasaan, status sosial, dan keindahan. Pengaruh penjajah Belanda dan kemudian Jepang di Indonesia menciptakan standar kecantikan yang mengidolakan kulit putih. Setelah kemerdekaan, meskipun standar kecantikan bergeser, kulit putih tetap menjadi simbol keindahan dan status tinggi. Warisan kolonial ini meninggalkan jejak yang dalam dalam persepsi kecantikan masyarakat Indonesia.

Konsep "Putih Kosmopolitan"

Pada era reformasi setelah 1998, muncul gagasan "putih kosmopolitan" atau "cosmopolitan whiteness", di mana standar kecantikan kulit putih tidak lagi terkait dengan bangsa tertentu. Perempuan dari berbagai bangsa bisa mengiklankan produk kecantikan internasional asalkan memiliki kulit putih. Misalnya, perempuan Jepang bisa mengiklankan produk dari Prancis atau negara lain, selama mereka berkulit putih. Hal ini menciptakan standar kecantikan global yang mengutamakan kulit putih sebagai ideal kecantikan universal.

Pengaruh Industri Kecantikan dan Media

Industri kecantikan di Indonesia sangat gencar mempromosikan produk pemutih kulit. Iklan-iklan kecantikan sering menampilkan model berkulit putih dari berbagai negara, memperkuat persepsi bahwa kulit putih adalah standar kecantikan yang diinginkan. Konsep bahwa kulit putih dapat dicapai dengan mudah melalui berbagai produk kecantikan semakin memperkuat anggapan ini, meskipun kenyataannya kulit putih menjadi elusif dan sulit dicapai oleh banyak orang.

Bias Kelas dan Status Sosial

Kulit putih sering diasosiasikan dengan status sosial yang lebih tinggi. Orang-orang berkulit putih dianggap lebih terawat, jarang terkena paparan sinar matahari langsung, dan tidak melakukan pekerjaan kasar yang sering dilakukan oleh kelas pekerja.

Hierarki warna kulit ini menciptakan bias kelas yang kuat, di mana kulit putih menjadi simbol kemewahan dan keanggunan. Keinginan untuk memiliki kulit putih pun melintasi berbagai kalangan dan kelas sosial, mencerminkan tekanan sosial yang kuat untuk memenuhi standar kecantikan ini.

Ideologi Kecantikan yang Mengikat

Ideologi kecantikan yang menekankan pentingnya kulit putih menciptakan tekanan sosial yang besar bagi perempuan. Konsep kecantikan yang sempit ini sering kali menyebabkan insecurity dan ketidakpuasan diri. Ayu menekankan bahwa yang bermasalah bukanlah ukuran tubuh atau warna kulit, tetapi ideologi kecantikan yang memaksa perempuan untuk memenuhi standar tertentu. Kesadaran akan body positivity dan keberagaman kecantikan harus ditekankan untuk melawan ideologi yang mengikat ini.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat