uefau17.com

Tempuh Pendidikan Dokter Spesialis, Kemenkes: Residen Akan Dibayar - Health

, Jakarta Proses menempuh pendidikan dokter spesialis, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) menegaskan dokter residen akan dibayar. Artinya, calon dokter spesialis atau residen ini memeroleh bayaran selama pendidikan berlangsung. 

Dirjen Tenaga Kesehatan Kemenkes RI Arianti Anaya mengatakan, pembayaran terhadap dokter residen selama pendidikan dokter spesialis termasuk lompatan perubahan. Sebab, selama ini dokter residen tidak mendapat bayaran. 

“Untuk (pendidikan) dokter spesialis, nantinya dokter spesialis itu tidak bayar. Mereka sebagai residen Itu akan dibayar,” ungkap Ade, sapaan akrabnya saat ‘Sosialisasi dan FGD RUU Kesehatan: Penyederhanaan Proses SIP dan STR’ yang diikuti Health di Hotel Gran Melia, Jakarta, ditulis Selasa (4/4/2023).

“Ini lagi bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, tidak dibebankan ke rumah sakit. Tetapi mereka akan mendapatkan income (pendapatan) dari pekerjaan dia sebagai residen.”

Pendidikan Spesialis Akan Dibayarkan oleh Pemerintah 

Ade melanjutkan, apabila dokter residen harus membayar uang pendidikan, maka nanti pembayarannya dibiayai oleh Pemerintah. Dalam hal ini, mereka tidak perlu merogoh kantong sendiri untuk membayar pendidikan spesialisnya.

“Kalau dia harus membayar untuk sekolahnya (pendidikan), maka sekolahnya itu akan dibayar oleh Pemerintah. Jadi tidak ada lagi pendidikan dokter spesialis ya berbayar dan sekolahnya mahal,” lanjutnya.

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Percepat Buka Prodi Kedokteran di Daerah

Demi upaya percepatan produksi dokter spesialis, Arianti Anaya turut meminta bantuan organisasi profesi dan kolegium untuk mempercepat pembukaan program studi (prodi) pendidikan dokter spesialis di daerah.

Hal ini lantaran tidak semua daerah mempunyai Fakultas Kedokteran (FK) maupun Fakultas Kedokteran Gigi (FKG). 

“Organisasi profesi dan kolegium dapat bersama-sama mempercepat membuka prodinya (FK) di daerah-daerah. Saya bilang, Fakultas Kedokteran Gigi ada berapa? 32 jumlahnya di Indonesia,” terang Ade.

“Itu gimana cara organisasi profesi dan kolegium nih bersama-sama kita buka prodi FKG di daerah.”

RS Selenggarakan Pendidikan Spesialis Gigi

Dimaklumi pula tak semua Fakultas Kedokteran terdapat jurusan spesialisasi gigi. Satu cara lain yang dapat dilakukan adalah Rumah Sakit (RS) setempat dapat menyelenggarakan pendidikan spesialis gigi bila ada FK yang tak mempunyai jurusan tersebut.

“Jadi, nanti apakah di RS yang menyelenggarakan pendidikan kalau di FK-nya tuh enggak ada jurusan gigi. Supaya apa? Supaya ya dokternya nanti tetap melangsungkan pendidikan di daerahnya, misalnya dokternya dari Nusa Tenggara Timur (NTT), maka ya tetap tinggal di NTT,” jelas Ade.

“Itu skema-skema yang akan kami buat ke depannya.”

3 dari 3 halaman

Banyak Puskesmas Tak Ada Dokter Gigi

Arianti Anaya juga menyentil soal produksi dokter gigi yang sangat kurang. Bahkan ribuan Puskesmas tidak mempunyai dokter gigi.

“(Ketersediaan) dokter gigi itu lebih parah daripada dokter umum. Sebanyak 400 Puskesmas enggak ada dokter umum, sedangkan dokter gigi itu 4.000 Puskesmas enggak ada dokternya,” imbuhnya.

“Nah, cari di mana tuh 4.000-nya? Ayo, organisasi profesi. Ini kita mau diem aja? Terus kasihan dong, kalau di sana orang sakit gigi gimana? Masa mau didiemin aja. Kan sakit banget itu.” 

Sepi Peminat Pendayagunaan Dokter Spesialis

Kementerian Kesehatan juga membuat program Pendayagunaan Dokter Spesialis (PGDS). PGDS ini tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Pendayagunaan Dokter Spesialis yang diteken Presiden RI Joko Widodo tanggal 14 Mei 2019.

Upaya PGDS dimaksudkan mengisi kekosongan dan kekurangan dokter spesialis di RS pemerintah. Sayangnya, PGDS sepi peminat.

“Pada saat saya membuat Pendayagunaan Dokter Spesialis secara sukarela dari sejumlah lulusan, berapa persen yang bisa kirim? Hanya 20 persen peminatnya. Oh, kurang uangnya di daerah? Tidak juga,” pungkas Ade.

“Saya berani kasih tambahan intensif dan insentif tenaga kesehatan sudah Rp30 juta bisa kasih atau Rp40 juta sampai Rp60 juta, tetap enggak ada yang mau. Jadi kami sedang berpikir gimana caranya untuk membereskan semua. Tentunya tidak semua juga ditaruh di daerah terpencil.”

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat