uefau17.com

Jepang Cari Guru PAUD Berkualitas, Pemerintah Siapkan Rp 236 Miliar - Global

, Tokyo - Meski angka kelahiran di Jepang sedang menurun dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Jepang sedang mencari guru-guru PAUD berkualitas. Anggaran fantastis pun disiapkan agar negara itu tak kekurangan di sektor PAUD.

Tak tanggung-tanggung, anggaran diperkirakan mencapai 2 miliar yen (Rp 236,4 miliar) untuk menambah subsidi PAUD, mencegah kekurangan guru PAUD, dan meningkat kualitas pelayanan.

Dilaporkan Kyodo, Rabu (21/12/2022), pemerintah juga mempertimbangan peluncuran program baru agar pekerja sambilan bisa membantu para guru-guru PAUD dalam mengantar anak murid.

Sumber Kyodo menyebut satu guru diperlukan untuk setiap 30 orang anak usia 4-5 tahun. Subsidi akan ditambahkan bagi PAUD yang menyediakan satu guru per 25 anak.

Namun, pemerintah tidak akan mewajibkan agar PAUD harus menyediakan satu guru PAUD untuk 25 anak.

Jumlah satu guru untuk 30 anak lebih tinggi ketimbang aturan di Amerika Serikat. Contohnya, negara bagian New York mewajibkan satu guru untuk sembilan anak usia 5 tahun, dan jumlah maksimum grup adalah 24 anak.

Di Inggris, satu guru dapat mengawasi maksimal enam anak yang berusia di bawah 8 tahun. Organisasi PAUD di Jepang telah meminta agar pemerintah meninjau rasio guru-murid, namun pemerintah belum dapat melakukannya karena masalah pendanaan.

Kebijakan peningkatan kualitas guru PAUD ini diumumkan setelah ada sejumlah insiden, seperti anak yang meninggal di bus karena ditinggal gurunya, serta kasus mantan guru-guru PAUD yang ditangkap karena penganiayaan anak.

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Guru PAUD Aniaya Murid

Sebelumnya dilaporkan, tiga guru di Jepang ditangkap polisi akibat ketahuan menganiaya sejumlah murid. Tindakan tersebut juga termasuk menampar anak.

Dilaporkan Kyodo News, Senin (5/12), tiga guru itu baru-baru ini sudah keluar dari PAUD tempat mereka bekerja. Namun, proses hukum terus berjalan.

Tiga guru perempuan itu telah mengakui tindakan penganiayaan yang mereka lakukan. Selain menampar anak, para guru itu juga menggendong anak secara terbalik.

Para pelaku juga pernah sengaja melepas celana anak-anak dan menodong carter dengan mengancam ke murid.

Kepala sekolah, Toshihiko Sakurai, diduga meminta para staf agar tutup mulut. Para staf diminta tanda tangan untuk berjanji.

Kejadian ini bertempat di sebuah PAUD di kota Susono dekat Gunung Fuji, Prefektur Shizuoka. Pelaku ditangkap pada Minggu (4/12).

Alasan para guru itu adalah ingin mendisiplinkan anak-anak. Nama tiga guru itu dikuak sebagai Sachi Miura (30), Kaori Komatsu (38), dan Rie Hattori (39). Mereka melakukan aksinya pada Juni lalu.

Selain itu, pihak polisi juga khawatir bahwa pihak sekolah akan menghancurkan barang-barang bukti. Polisi pun menggeledah rumah tiga tersangka.

Wali Kota Susono, Harukaze Murata, berkata akan mengambil langkah hukum terhadap kepalaa sekolah karena menolong para tersangka menghindari peradilan. Murata dulunya juga seorang polisi. 

Tiga guru yang ditahan ternyata hanya bagian dari enam komplotan yang terlibat dalam dugaan penganiayaan di sekolah tersebut. Polisi curiga aksi ini berkelanjutan sehingga masih terus menganalisis dokumen-dokumen yang disita.

3 dari 4 halaman

800 Ribu Bayi Lahir di Jepang pada 2022

Angka kelahiran bayi di Jepang pada tahun 2022 mencatat angka terendah sejak 1899 ketika statistik kelahiran pertama dibuat di negara tersebut. Angka kelahiran yang merosot ini terjadi sejak tujuh tahun terakhir.

Dilaporkan Kyodo, Selasa (20/12), angka kelahiran pada 2020 tercatat 811 ribu. Kementerian kesehatan di Jepang menyorot pandemi COVID-19 sebagai faktor yang membuat wanita menunda kehamilan. 

Penundaan itu terkait masalah ekonomi dan kesehatan. Apabila tren kelahiran tidak meningkat, maka kelahiran di Jepang bisa menurun hingga 770 ribu.

Angka kelahiran yang menurun ini juga lebih cepat dari yang pemerintah perkirakan. National Institute of Population and Social Security Research memprediksi pada 2017 bahwa kelahiran adalah sekitar 860 ribu di Jepang dan baru akan turun di bawah 800 ribu pada 2030 mendatang.

Makin sedikitnya angka kelahiran di Jepang bisa berdampak pada pendanaan program jaminan sosial, seperti pensiun dan jaminan kesehatan untuk lansia.

Selain COVID-19, para generasi muda yang berusia 20 dan 30 tahunan menyebut memiliki kekhawatiran yang lebih besar ketimbang pernikahan dan kehamilan. Dua hal yang lebih disorot adalah keamanan pekerjaan dan prospek pendapatan.

Mereka lantas kurang optimis untuk membangun keluarga ketimbang sebelum COVID-19.

Berdasarkan data Bank Dunia, ada 74,1 juta orang Jepang berusia antara 15 hingga 64 tahun per 2021. Angka itu terus menurun ketimbang tahun 1990-an ketika ada 86-88 juta orang populasi usia 15-64 tahun. 

Total populasi di Jepang saat ini ada 125,7 juta. 

4 dari 4 halaman

Ogah Menikah di Masa Pandemi COVID-19

Orang Jepang yang menikah di tahun 2022 diprediki berkurang karena dampak COVID-19. Faktor-faktor yang menjadi sorotan adalah kurang waktu sosialisasi dan urusan keuangan. 

Dilansir Kyodo, Selasa (9/8), jumlah pernikahan tahun ini diperkirakan akan 150 ribu lebih sedikit dalam tiga tahun terakhir. Hal ini bisa membuat jumlah bayi yang lahir berkurang 234 ribu jika tingkat pernikahan tidak pulih. 

Temuan itu berasal dari studi oleh Asako Chiba, postdoctoral fellow di Tokyo Foundation for Policy Research dan Taisuke Nakata, associate professor di University of Tokyo. 

Stres finansial yang bertambah disebut berpengaruh pada rendahnya angka pernikahan di Jepang. 

Mereka menyebut angka pernikahan di tahun 2020 adalah sekitar 526 ribu, sekitar 50 ribu lebih rendah dari proyeksi. Sementara, angka tahun 2021 adalah 501 ribu. Angka itu 63 ribu lebih rendah dari perkiraan.

Turunnya angka pernikahan tersebut diprediksi berlanjut di 2022, meski ada tanda-tanda pemulihan. Total pernikahan diperkirakan mencapai 515 ribu, sekitar 38 ribu lebih rendah dari perkiraan.

"Dampak sosial dan ekonomi dari virus corona butuh waktu untuk bermanifestasi," ujar Chiba. "Pembuat kebijakan perlu mengenali krisis yang secara tegas mendekat." 

Angka pernikahan tahunan di Jepang terus turun sejak memuncak pada 1 juta pernikahan di awal 1970-an. Angka kelahiran juga terus menurun. Pada 2021, angka kelahiran baru adalah 810 ribu dibanding 2 juta kelahiran pada tahun 1973.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat