uefau17.com

HEADLINE: Jokowi Sarapan Data Intelijen Parpol, Penyalahgunaan Kekuasaan atau Sesuai UU? - News

, Jakarta - Pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang pamer kantongi semua data partai politik dari intelijen menulai polemik. Sejumlah koalisi masyarakat, pakar dan partai politik mengaku khawatir jika data tersebut akan disalahgunakan demi kepentingan kelompok tertentu.

Namun sebenarnya, menurut Pengamat Intelijen, Pertahanan, dan Keamanan Ngasiman Djoyonegoro menyebut pernyataan Jokowi tersebut masih dalam koridor Undang-Undang Intelijen.

“Pernyataan bahwa Joko Widodo sebagai Presiden memiliki informasi intelijen bukanlah pernyataan yang dirahasiakan,” kata Ngasiman Djoyonegoro, di Jakarta.

Disebutkan dalam Undang-Undang Intelijen Pasal 27 bahwa Badan Intelijen Negara (BIN) berada di bawah dan bertangung jawab kepada Presiden. Sehingga memang menjadi tugas presiden untuk menerima dan memegang data intelijen sebagai bahan untuk pembuat kebijakan.

“Sepanjang presiden tidak membuka informasi yang dirahasiakan berdasarkan UU Intelijen, maka pernyataan presiden masih dalam koridor UU Intelijen,” ujarnya seperti dikutip dari Antara.

Dia menerangkan semua informasi kinerja intelijen bersifat rahasia sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.

“Kerahasiaan informasi intelijen bertujuan untuk melindungi kepentingan publik,” katanya.

Dia mengatakan semua informasi dari mana pun datangnya, termasuk dari partai politik yang berpotensi menimbulkan ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan dalam bernegara, maka intelijen diberikan kewenangan untuk mencari informasi tersebut sebagai bentuk deteksi dini.

Dalam melakukan deteksi dini tersebut, kata dia, harus dilakukan dengan cara-cara yang diizinkan UU Intelijen. Kemudian laporannya dianalisis, ditafsirkan, diprediksi, dan dikembangkan sejumlah rekomendasi.

Menurut dia, sangat wajar dalam konteks Pemilu 2024, jika pergerakan intelijen menyasar para aktor-aktor pemilu, salah satunya partai politik.

Berkaca pada Pilkada DKI Jakarta 2027 dan Pemilu 2019 lalu, di mana fragmentasi masyarakat cukup kuat, maka antisipasi harus dilakukan sejak dini agar tak ada perpecahan di masyarakat. 

“Supaya skenario-skenario yang mengarah pada perpecahan bangsa dalam kompetisi Pemilu 2024 bisa diantisipasi dan dicegah sejak dini,” kata Simon, sapaan akrab Ngasiman.

Sementara Peneliti di Pusat penelitian Politik dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional Wasisto Raharjo Jeti mengatakan, jika mengacu pada Undang-Undang Intelijen, intelijen memang di bawah koordinasi langsung presiden dalam urusan keamanan nasional.

Namun, Presiden Jokowi memang harus menjelaskan kepada publik soal pernyataannya tentang 'tahu dalamnya partai' sehingga tak menimbulkan polemik.

"Dalam konteks ini masalah keamanan ini yang perlu dijelaskan oleh Presiden di balik data parpol tersebut. Hal itulah yang menimbulkan polemik di ruang publik," ujar Wasisto kepada .

Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing mengatakan, jika Presiden Jokowi menerima data intelijen soal partai politik adalah hal yang sangat wajar. Sebab, Jokowi sebagai presiden adalah pengguna intelijen itu sendiri.

"User dari intelijen kan presiden. Dalam kalimat Jokowi, ia mendapat informasi tentang politik, sosial, ekonomi dan lainnya. Sementara turunan politik tentu partai politik kan. Kalau dia dapat informasi dan intelijen tentang parpol kan tidak ada masalah," kata Emrus kepada di Jakarta.

Emrus mengatakan, sangat wajar jika Jokowi mendapat informasi tentang pergerakan partai politik di Indonesia. Toh, kata dia, Jokowi tidak membocorkan data intelijen tersebut pada publik. 

"Jokowi tidak menyebut sesuatu yang rahasia, pernyataan itu hanya sebatas normatif. Jadi orang yang menarik-narik dia seolah-olah bisa melihat isi perut partai, jagankan isi perit partai, isi perut Indonesia kan diketahui. Parpol itu kan bagian dari negara," ujarnya.

 

Sesuai Undang-Undang

Presiden Jokowi sendiri menjelaskan bahwa semua presiden memiliki data intelijen soal ekonomi, sosial, hingga politik.

"Saya itu ya, saya itu rutin, saya itu rutin mendapatkan laporan baik dari intelijen di kepolisian, intelijen di TNI, intelijen di BIN, rutin mendapatkan laporan," jelas Jokowi di PT Pindad Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (19/9/2023).

"Baik itu berkaitan dengan politik, baik itu berkaitan dengan ekonomi, baik itu berkaitan dengan sosial, rutin dan semua presiden sama," sambungnya.

Menurut dia, undang-undang mengatur bahwa presiden harus menerima laporan intelijen. Jokowi menekankan data-data intelijen harus dibuka kepada presiden.

"Gimana masa laporannya kan memang di undang-undangnya harus laporan kepada Presiden. Kalau BIN itu harus laporan kepada presiden, semua ada. Coba dibuka," tutur Jokowi.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pun menegaskan bahwa Presiden memiliki data situasi dan arah politik seluruh partai di Indonesia adalah hal yang biasa. Sebab hal itu telah diatur dalam undang-undang.

"Namanya presiden bisa tahu apa saja, termasuk partai politik. Itu tugasnya Presiden, keamanan, masalah isu hukum. Apa-apa yang sensitif di masyarakat Presiden setiap hari mendapat laporan dari intelijen," kata Mahfud.

Bahkan, lanjut Mahfud, setiap menteri juga memiliki data intelijen. Namun, laporan tersebut diterimanya setiap satu bulan sekali.

"Di mana pun Presiden harus begitu jadi itu benar. Nggak bisa (disalahkan) dong, emang laporan presiden. Menteri saja punya apalagi Presiden. Presiden lebih lengkap lagi," ujar Mahfud.

"Kalau menteri mungkin, kalau Menko bisa bulanan itu dapat. Kalau Presiden tiap hari, pagi ini ada apa, ini ada apa. Itu biasa, punya data partai politik itu biasa, sudah tahu semua," sambungnya.

Maka dari itu, ia pun menegaskan bahwa Jokowi telah memiliki data intelijen tersebut sudah sejak lama.

"Tidak ada Pemilu pun Presiden tahu data tentang partai politik. Itu memang hal Presiden. Perintah Undang Undang. Ada Undang Undang Intelijen Negara kan?" ucap Mahfud.

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Penyalahgunaan Kekuasaan?

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai pernyataan Jokowi yang memiliki laporan intelijen tiap partai politik merupakan masalah yang serius dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.

Koalisi yang terdiri dari Imparsial, PBHI Amnesty International, YLBHI, Kontras, Centra Initiative, Elsam, Walhi, ICW, HRWG, LBH Masyarakat, Setara Institute ini menilai Presiden beserta perangkat intelijennya tidak boleh menjadikan partai politik sebagai objek dan target pemantuan intelijen.

Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan, intelijen memang aktor keamanan yang berfungsi memberikan informasi kepada Presiden. Namun, informasi intelijen itu seharusnya terkait dengan musuh negara bukan terkait dengan masyarakat politik dan masyarakat sipil.

Ia mengatakan, partai politik dan masyarakat sipil adalah elemen penting dalam demokrasi sehingga tidak pantas Presiden memantau, menyadap, mengawasi mereka dengan menggunakan lembaga intelijen demi kepentingan politik Presiden.

Hal ini, kata dia, berdasarkan pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, yang berbunyi:

Pasal 1

1. Intelijen adalah pengetahuan, organisasi, dan kegiatan yang terkait dengan perumusan kebijakan, strategi nasional, dan pengambilan keputusan berdasarkan analisis dari informasi dan fakta yang terkumpul melalui metode kerja untuk pendeteksian dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional.

2. Intelijen Negara adalah penyelenggara Intelijen yang merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan fungsi dan kegiatan Intelijen Negara.

"Kami memandang, pernyataan presiden tersebut mengindikasikan adanya penyalahgunaan kekuasaan terhadap alat-alat keamanan negara untuk melakukan kontrol dan pengawasan demi tujuan politiknya. Hal ini tidak bisa dibenarkan dan merupakan ancaman bagi kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia," kata Julius.

Menurutnya, Jokowi melakukan penyalahgunaan intelijen untuk tujuan-tujuan politiknya dan bukan untuk tujuan politik negara. 

"Pengumpulan data dan informasi yang dilakukan oleh intelijen hanya boleh digunakan untuk kepentingan pengambilan kebijakan, bukan disalahgunakan untuk memata-matai semua aktor politik untuk kepentingan politik pribadinya," ujarnya.

Sebab dalam negara demokrasi, menurutnya, partai politik bukanlah ancaman keamanan nasional. Sehingga Presiden tak memiliki alasan intelijen dikerahkan untuk mencari informasi terkait data, arah perkembangan partai politik. 

"Peristiwa ini mengindikasikan adanya pelanggaran terhadaphukum dan undang-undang," ujar Julius.

Ia pun meminta agar pernyataan Presiden Jokowi tersebut diusut tuntas. Julius juga meminta DPR memanggil Presiden Jokowi dan lembaga intelijen untuk menjelaskan masalah ini kepada publik.

"Kami menilai ini merupakan bentuk skandal politik dan menjadi masalah serius dalam demokrasi," tandasnya.

Sementara Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengaku sangat terkejut dengan pernyataan Jokowi soal penggunaan informasi intelijen dalam politik.

Menurut Pangi, hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) demi kepentingan politik pragmatis pribadi.

"Pernyataan tersebut mempunyai implikasi dan ancaman yang sangat serius terhadap kualitas, nilai-nilai dan roh demokrasi itu sendiri," kata Pangi.

Pangi menjelaskan, data intelijen tidak tepat dipakai untuk memata-matai ketua umum parpol, memonitor keputusan partai politik, hingga operasi partai politik. Dia menyebut, pernyataan Jokowi justru menimbulkan tanda tanya besar.

"Tanda tanya besar saya adalah data intelijen ini dipakai untuk apa? Betulkah data intelijen untuk keamanan negara? Atau jangan sampai persepsi publik menangkap bahwa data intelijen dipakai untuk operasi partai politik, nakut-nakuti ketua umum parpol dalam rangka mempengaruhi intensitas dan arah koalisi? Seperti seolah-olah presiden terkesan jadi dealer partai politik," jelas Pangi.

Pangi menjelaskan, sangat penting untuk memahami bahwa penggunaan data intelijen dalam politik adalah isu yang sensitif. Menurut dia, harusnya data intelijen dipakai untuk politik negara bukan politik Pemilu musiman lima tahunan.

"Data intelijen seharusnya digunakan untuk kepentingan keamanan nasional dan bukan untuk tujuan politik kelompok dan golongan tertentu," kata dia.

Selain itu, kata Pangi menggunakan informasi intelijen untuk memantau atau memata-matai lawan politik adalah tindakan tidak bisa dibenarkan dan dapat merusak integritas sistem politik dan pemilihan umum (Pemilu).

"Yang lebih mengkhawatirkan, Presiden seharusnya netral dan tidak gunakan kekuasaan untuk memuluskan agenda pribadi," ujar dia.

Pangi, kemudian membeberkan hasil survei terbaru Voxpol Center Research and Consulting per tanggal 2 Agustus 2023. Hasilnya, sebanyak 77,3 persen masyarakat mendukung netralitas presiden.

"Namun kalau secara pribadi Jokowi punya intensitas atau interest tertentu terhadap calon presiden tidak fair juga kita melarang," kata Pangi.

Pangi berujar sebesar 59,0 persen lainnya tidak setuju dan sangat tidak setuju Presiden Jokowi terlibat aktif dan mempengaruhi (cawe cawe) dalam proses pemilihan presiden 2024.

"Maknanya menolak campur tangan Presiden Jokowi, artinya menolak presiden yang partisan. Demokrasi membutuhkan transparansi, keadilan, dan integritas.

Lebih lanjut, ancaman demokrasi sangat nyata saat pemimpin menggunakan informasi intelijen untuk politik. Hal ini, kata dia dapat merusak kepercayaan publik (trust building) dan melemahkan fondasi demokrasi.

"Penyalahgunaan data intelijen bukan masalah sepele, ini adalah skandal politik yang sangat memalukan. Untuk pertahankan integritas, data intelijen seharusnya digunakan untuk ancaman terhadap kepentingan dan keamanan negara, bukan untuk politik pribadi dan memata-matai lawan politik," kata dia.

3 dari 3 halaman

Parpol Yakin Jokowi Tak Akan Salahgunakan Data Intelijen

Sementara partai politik yang tergabung dalam koalisi pemerintah seperti Gerindra, PKB dan PAN yakin Jokowi tak akan menyalahgunakan data tersebut untuk kepentingan tertentu. 

"Kalau beliau sampaikan bahwa dia punya data intelijen misalnya, tentang parpol, tentang tokoh politik, ya itu memang betul. Dan itu enggak ada salahnya menurut saya," kata Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, (19/9/2023).

Selain itu, dia meyakini data yang dimiliki oleh Presiden Jokowi hanya akan digunakan dalam pengambilan keputusan strategis. Sehingga, Dasco mengaku tak khawatir Presiden Jokowi menyalah gunakan data tersebut.

"Saya pikir Presiden menempatkan diri sebagai negarawan sehingga saya yakin dan percaya bahwa data di intelijen yang dipunyai oleh Presiden sebagai kepala negara tentunya hanya dipakai dalam hal pengambilan keputusan-keputusan strategis dalam mengelola pemerintahan, tidak untuk yang lain," tegas dia.

"Saya yakin dan percaya bahwa itu tidak akan disalahgunakan oleh Presiden," imbuh Dasco.

Sementara Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid justru berfikir positif, bahwa data yang dimiliki Jokowi itu akan digunakan untuj penguatan semua partai politik di Indonesia. 

"Untuk membina partai-partai dalam fungsi pembinaan, karena kan presiden pembina partai-partai politik," kata Jazilul, saat diwawancarai di Gedung Nusantara III DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (18/9).

Namun, dia menyebut jika data tersebut digunakan untuk kepentingan tertentu maka hal itu merupakan tindakan tidak adil.

"Asal untuk kepentingan bangsa dan negara. Tapi kalau digunakan untuk kepentingan misalkan selaku petugas partai tertentu atau kader partai tertentu saya pikir itu tindakan yang tidak adil," tegas dia.

Akan tetapi, Jazilul meyakini Jokowi akan berlaku adil dan menghormati domain partai politik.

"Saya yakin Pak Prwesiden akan bersikap adil terhadap informasi yang diterima," ucap dia.

"Untuk partai-partai seperti disampaikan Pak Presiden berulang kali itu domain dari ketua umum partai-partai politik, saya pikir Pak Presiden akan menghormati kedaulatan partai-partai politik," imbuh Jazilul.

Kemudian menurut Ketua DPP Partai Proksi Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay, semua Presiden Indonesia, termasuk Jokowi mengemban tugas penting menjaga kestabilan negara, dengan salah satu faktor yakni, melihat dinamika politik.

"Jadi, Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintah Presiden punya tugas menjaga kestabilan nasional dan harus mengakui masalah di seluruh negeri salah satu penting dinamika politik di Indonesia," kata Saleh saat dihubungi , Senin, (18/9/2023).

Sebab, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dalam undang-undang terdapat namanya intelijen seperti, BAIS, BIN, dan lainnya. Yang bertugas dan berfungsi menginformasikan apa saja yang terjadi di negara ini.

Bahkan, kata Saleh, hal tersebut bukan hanya di Indonesia saja tetapi juga di negara lain. Sehingga, dinamika dari setiap partai patut untuk di perhatikan agar tidak terjadi gejolak, untuk menjaga kondusifitas negara.

"Jadi, seluruh dunia juga begitu karena, dampak paling penting dinamika politik, termaksud dinamika disetiap partai politik agar tidak ada gejolak," jelasnya

Menurut Saleh, selain wajar dan hal ini cukup penting karena, dinamika politik sendiri memang berdampak untuk masyarakat. Jika, dinamika politik baik dan santun maka, kedepannya masyarakat juga tentram terhindar dari kericuhan.

"Jadi, semua arahnya untuk masyarakat," pungkasnya.

Sementara partai yang berada di luar pemerintah, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga meyakini Jokowi tidak akan berbuat macam-macam terkait data soal partai politik yang dia miliki dari intelijen. 

"Jokowi ini orang baik, sudahlah enggak bakal macam-macam, intelnya juga baik-baik, kalau enggak sudah hancur ini publik," kata Sekjen PKS Habib Aboe Bakar Alhabsyi di NasDem Tower, Jakarta, Senin, (18/9/2023).

Aboe menilai Presiden Jokowi sedang menghibur, supaya para partai politik lebih berhati-hati jelang kontestasi Pilpres 2024.

"Cuma Presiden ini senang kalau menghibur kita. Menghibur kita supaya lebih hati-hati. Seakan-akan ada apa di NasDem, nggak ada sama aja pengen menang Pemilu. Intinya itu. Jadi buat kami yang diungkapkan Presiden itu hal biasa," ucap dia.

Lebih lanjut, Aboe menyebut tetap berpikir positif terhadap Presiden Jokowi.

Dia meyakini, Presiden Jokowi tak akan menggunakan data-data intelejen itu untuk tujuan yang tidak baik.

"Saya yakin beliau juga tidak mungkin membocorkan hal-hal yang tidak baik, tidak mungkin. Nggak mungkin, lucu jadinya," kata Aboe.

Meski begitu, kata Aboe, sebaiknya Jokowi tidak mengungkap soal informasi tersebut ke publik. Sebab akan menimbulkan kegaduhan. 

“Sebenarnya enggak perlu diungkap, diungkap jadi ramai, kan itu sudah job description seorang presiden mendapatkan masukan, termasuk Menkopolhukam juga dapat, bukan presiden aja,” jelasnya.

Lebih lanjut, dia berharap, agar data-data yang dimiliki Presiden Jokowi tidak disalahgunakan.

“Kalau digunakan bukan untuk kepentingan bernegara jadi lain ceritanya, iya dong? Kalau kepentingan partai si A si B? itu kan berarti abuse of power,” imbuh dia.

 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat