uefau17.com

Kopi, Kambing Menari, dan Rahasia Langit - Regional

, Jakarta - Kopi, dari mana asal muasalnya, tentu banyak versi. Ada salah satu versi kisah populer sejarah kopi, yakni Kisah Sang Penggembala. 

Hikayat ini dikenal juga sebagai Kisah Kambing-Kambing Menari. Berikut ini ceritanya, dihimpun dari berbagai sumber. 

Alkisah, sekitar 850 Masehi ada seorang penggembala bernama Khaldi atau Khalid, di Abyssinia, kini Ethiopia, di daerah antara Laut Merah dan pantai barat Jazirah Arab. Dia penasaran melihat perilaku aneh kambing-kambingnya.

Mereka mendadak lincah, melompat-lompat sepanjang hari, setelah makan sejenis beri merah yang tumbuh liar. Kambing-kambingnya seakan kegirangan.

Banyak seniman kemudian melukiskan fragmen itu dengan narasi 'anak kambing menari-nari'.

Penasaran, Khaldi mencoba makan buah tersebut. Setelah memakannya, ia juga jadi gembira dan bersemangat, seperti kambing-kambingnya.

Khaldi menceritakan pengalamannya itu kepada biarawan di desanya. Dia juga menunjukkan tanaman di semak dengan ciri-ciri daun mengkilat, kayu keras sedikit abu-abu, bunga putih, dan buah ceri berwarna hijau, kekuningan, dan merah.

Buah tersebut sangat pahit, maka sang biarawan mulai mengolahnya. Mengeringkan, merebus,  memanggang, dan menumbuk, lalu menyeduhnya dengan air mendidih.

Biarawan itu menyesap nikmat usai minum seduhan itu, dan tidak merasa kantuk saat berdoa panjang. Dia bersama teman-teman biarawannya pun mengonsumsi minuman tersebut sebelum ritual mendaraskan doa. Sejak itu kopi menyebar dari biara ke biara.

Seduhan kopi mulai dikenal sebagai minuman yang dapat menambah tenaga dan mengusir rasa kantuk. Tanaman dan buahnya disebut dengan istilah bun. Minuman bun pun populer di daerah sekitar.

Selanjutnya, pada akhir abad ke-9, kelompok sufi dari Tarekat Syadziliyah mengenal seduhan bun itu dari para penggembala di Ethiopia. Saat kembali ke Yaman, mereka membawa serta bibit-bibit bun. Salah satu tokohnya adalah Abul Hasan Ali ibn Umar, hakim di pemerintahan Sultan Saladdin II di selatan Ethiopia.

Di Yaman, seduhan bun itu ini dikenal sebagai qahwa. Istilah ini awalnya dipakai untuk anggur. Di kemudian hari kopi memang sempat dijuluki The Wine of Islam.

Minuman dari biji kopi disebut qahwa karena membangkitkan dan menyegarkan pikiran. Sebaliknya, khamr (minuman keras) bisa menghilangkan akal pikiran.

Qahwa dipakai sebagai teman untuk berzikir dan beribadah hingga Subuh. Istilah qahwa diyakini akar dari kata coffee, cafe, maupun kopi saat ini.

Orang kaya di Yaman dan sekitarnya minum kopi di ruangan khusus. Warga biasa minum kopi di qahveh khaneh alias rumah kopi.

Pada abad ke-15, para peziarah dan pedagang muslim menyebarkan kopi ke Persia, Mesir, Turki, juga Afrika Utara.

Budidaya kopi dan perdagangannya dimulai di Jazirah Arab. Pada abad ke-15, kopi ditanam di distrik Yaman di Arab. Pada abad ke-16 kopi dibudidaya di Persia, Mesir, Suriah, dan Turki.

Rumah kopi pun marak di kota-kota di Timur Tengah. Para pengunjung tak hanya minum kopi dan bercakap-cakap, tapi juga mendengarkan musik, bermain catur, dan bertukar informasi. Para politisi, filosof, seniman, pendongeng, pelajar, dan pelancong larut dalam obrolan warung kopi.

Mereka juga mendiskusikan soal-soal politik, sosial, dan keagamaan sambil minum kopi. Rumah kopi dengan cepat menjadi pusat penting pertukaran informasi, hingga sering disebut sebagai Schools of the Wise.

Penolakan terhadap kopi sempat muncul. Banyak penguasa menganggap rakyatnya menghabiskan terlalu banyak waktu dengan bersenang-senang di kedai kopi. Apalagi kedai kopi juga menjadi ajang pesta-pora, main judi, catur, dan permainan terlarang lainnya.

Sekelompok kaum muslim marah karena kopi yang dianggap sebagai teman ibadah diperlakukan seperti itu. Mereka menutup paksa kedai-kedai kopi.

Bahkan di Konstantinopel terjadi kekerasan. Seseorang yang dianggap melanggar kesucian kopi diikat pada sebuah kantong kulit dan dilemparkan ke sungai.

Untuk mengatasi gejolak kopi ini, pemerintah setempat mengambil jalan tengah. Kedai kopi boleh dibuka jika mereka bersedia membayar pajak.

Pada 1511, gubernur Mekah sempat memberi fatwa bahwa minum kopi sama seperti anggur. Haram. Rumah kopi dipaksa tutup. Sebabnya banyak gunjingan dan kritik yang dinilai berasal dari gosip di rumah kopi.

Selama abad ke-16, banyak pemimpin dan pemuka agama Arab yang mengecam kopi. Saking banyaknya orang kecanduan minum kopi, Sultan Sulaiman, penguasa Turki, mengenakan pajak bagi kopi pada 1554.

Para peminum kopi bergeming. Mereka tetap menyeruput kopi diam-diam. Hingga tak ada larangan lagi.

Singkat cerita, kopi tertuang terus tak terbendung. Marwah kopi sebagai minuman kebaikan pelan-pelan kembali. Di Mekah tempat pertemuan orang Islam sedunia, kopi sangat populer. Jarang sekali ada acara zikir tanpa adanya suguhan kopi.

Lembaga Al Azhar, Mesir, juga menjadi pusat dari acara minum kopi, bahkan jadi ritual resmi. Penulis abad ke-16, Ibnu Abdul Ghaffar, menceritakan suasana pertemuan para darwis atau penganut sufi di Kairo.

"Mereka minum kopi setiap Senin dan Jumat, menyajikannya dalam wadah yang besar terbuat dari tanah liat merah. Sang pemimpin kemudian menyendokkan minuman itu dan membagikan kepada para pengikutnya, mulai dari sebelah kanan, sambil mereka menggumamkan lafaz-lafaz tertentu, biasanya La Ilaha Illallah.’’

“Para sufi di Yaman pada masa lalu minum kopi sambil melafalkan ratib, zikir dengan mengulang-ulang Ya Qawiyyu (Wahai Pemilik Segala Kekuatan) sampai 116 kali.”

Seorang sufi bernama Shadili Abu Bakar ibn Abdullah Alaydrus sangat terpesona dengan efek yang ditimbulkan kopi. Dia menganggit sebuah puisi (qasidah) untuk memuja kopi.

Shaikh ibn Ismail Ba Alawi menyatakan bahwa minum kopi yang ditujukan untuk memperkuat ibadah dan keimanan bisa mengantarkan pada kondisi qahwa ma’nawiyah dan qahwa al-Sufiyya.

Itu kondisi ketika seorang hamba Tuhan mendapat karunia disibakkan tabir mata batinnya, hingga mengetahui rahasia-rahasia tersembunyi di bumi dan di langit.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat