uefau17.com

Antara Harakiri, Nek Minah, dan Dugaan Korupsi di Tubuh KKR Aceh - Regional

, Aceh - Jepang terkenal dengan kisah sejumlah pejabatnya yang memilih untuk mundur dari kedudukan ketika mereka tersandung kasus rasuah. Tradisi ini merupakan jalan penebusan dosa secara terhormat, sebuah kebiasaan kuno yang dapat ditelusuri melalui ritual bernama harakiri atau seppuku.

Tradisi harakiri atau seppuku ini tentu tidak untuk dilihat secara harfiah karena ia identik dengan kematian dan bunuh diri. Penerapannya pun sangat tidak relevan dengan zaman, di samping juga bukan sebuah alternatif yang disarankan untuk menyelesaikan masalah.

Adapun hal yang bisa dipetik sebagai pelajaran dari tradisi harakiri atau seppuku tersebut yaitu prinsip hidup para pelakunya pada masa itu. Pada era kekaisaran di Jepang, ritual harakiri atau seppuku dilakukan oleh para samurai sebagai wujud pengorbanan serta upaya untuk menjaga muruah: kehormatan; harga diri; nama baik.

Rupanya tradisi ini telah melembaga dalam sikap para pejabat di Jepang era kiwari walaupun diterapkan dengan cara yang berbeda. Tidak mengherankan apabila banyak di antara pejabat publik Negeri Sakura lebih memilih mundur dari jabatan sewaktu tersandung kasus korupsi atau ketika merasa tidak dapat menjalankan tugas dengan baik.

Namun, cerita yang bertolak belakang banyak ditemukan di Indonesia. Jika pejabat di Jepang memilih mundur secara kesatria dari jabatan sewaktu tersandung kasus korupsi, kultur politik di Indonesia malah diisi oleh para pejabat yang sebisa mungkin mengelak dari kesalahan dengan jurus-jurus rendahan demi mempertahankan jabatan.

Tontonan yang menggelitik salah satunya bisa dilihat dari sikap Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, MY, saat menanggapi pertanyaan dalam sebuah sesi diskusi mengulas 'Evaluasi Kinerja KKR Aceh' digelar di UIN Ar Raniry, Banda Aceh, Rabu (4/10/2023). Lah, apa tumon?

KKR Aceh sendiri, hingga tulisan ini tayang di , sedang menjadi sorotan setelah tersandung kasus dugaan korupsi perjalanan dinas dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 258,5 juta rupiah. Namun, kasus ini dinyatakan dihentikan pada tahapan penyelidikan oleh penyelidik Polresta Banda Aceh setelah kerugian uang negara dikembalikan ke kas negara pada Kamis (7/9/2023) lalu.

Kepada media, skema Restorative Justice (keadilan restoratif) menjadi argumen yang dilontarkan oleh Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh, Kompol Fadillah Aditya Pratama, yang dipersiapkan sebagai 'benteng' untuk menampik rasa heran publik. Namun, kali kedua, ketika kantor institusi kepolisian itu diseruduk oleh sekelompok demonstran pada Selasa (10/10/2023), kata 'Restorative Justice' tak lagi diucapkan.

Mungkin kadung malu, karena entah dari mana dalil pembenaran skema RJ atas perbuatan pidana yang merugikan banyak orang (baca: korupsi) itu ia pungut. Toh, telah ditegaskan di dalam UU Tindak Pidana Korupsi pasal 4 bahwa pengembalian kerugian negara tidak secara otomatis menghilangkan penuntutan atas kasus korupsi tersebut.

Seakan gagal dengan jurus 'Restorative Justice', kini dalih yang menjadi alasan mengapa penanganan kasus dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif tidak ditindaklanjuti ke level selanjutnya yaitu pasal dalam nota kesepahaman antara Kemendagri, Kejaksaan, dan Kepolisian, tentang koordinasi aparat pengawasan internal pemerintah dan aparat penegak hukum dalam penanganan laporan atau pengaduan penyelenggaraan pemerintah daerah.

Dengan menggunakan nota kesepahaman yang lahir pada 2023 ini, kasus dugaan korupsi di tubuh KKR Aceh dikerdilkan ke dalam kriteria 'kesalahan administratif'. Pada pasal 4 ayat 4 huruf b disebutkan bahwa kriteria kesalahan administratif itu jika 'terdapat kerugian keuangan negara dan telah diproses dengan tuntutan ganti rugi atau tuntutan pembendaharaan paling lambat 60 hari sejak laporan hasil pemeriksaan APIP atau BPK diterima oleh pejabat atau telah ditindaklanjuti dan dinyatakan selesai oleh APIP atau BPK'.

Selanjutnya, pada pasal 5 ayat 1 masih dalam bab III pelaksanaan koordinasi, dijelaskan bahwa 'para pihak sepakat terhadap hasil pemeriksaan atau penyelidikan yang berindikasi kerugian keuangan negara yang nilainya lebih kecil dari biaya penanganan perkara diberikan kesempatan untuk menyelesaikan secara administratif paling lambat 60 hari'.

Selanjutnya, pada pasal, ayat, dan bab yang sama, dijelaskan, 'apabila dalam 60 hari tidak dapat diselesaikan indikasi kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1, para pihak menindaklanjuti indikasi kerugian keuangan negara dimaksud secara pidana'. Dari sinilah alasan tidak ditindaklanjutinya pengusutan atas kasus dugaan korupsi KKR Aceh dibenarkan, yakni bersebab kerugian keuangan negara telah dikembalikan ke kas negara.

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Dugaan Korupsi di Tubuh KKR Aceh

Hafijal M. Said dari Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mengomentari langkah penyelidik Polresta Banda Aceh yang telah mengerdilkan kasus dugaan korupsi KKR Aceh ke tingkatan 'kesalahan administratif' dalam diskusi yang digelar di pelataran LBH Banda Aceh, Senin sore (23/10/2023). Kata dia, keputusan kepolisian itu bisa-bisa menjadi rasionalisasi atau pembenaran bagi para pejabat untuk melakukan korupsi karena tidak takut akan adanya jeratan hukum.

"Ya sudahlah, korupsi saja, kalau ketahuan, kasih balik uang," ketus Hafijal M. Said, dalam diskusi bertajuk 'Penghentian proses hukum dugaan tindak pidana korupsi KKR Aceh sah atau tidak?'.

Hafijal M. Said mengungkap bahwa besaran anggaran yang diduga dikorupsi di tubuh KKR Aceh terhitung baru tujuh persen dari total anggaran yang dikelola oleh lembaga tersebut. Sebagai info, anggaran yang dimaksud bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) pada Badan Reintegrasi Aceh (BRA) tahun 2022 dengan pagu senilai Rp 3.659.257, dan plot untuk perjalanan dinas biasa yang direalisasikan sebesar Rp 772.300.000.

"Tujuh persen dari anggaran yang dikelola oleh KKR Aceh pada 2022 itu sekitar 4 miliar. Tapi coba anggarannya puluhan miliar, otomatis peluang mereka melakukan korupsi juga besar karena kue yang mereka kelola besar," tukas Hafijal M. Said.

Kasus dugaan korupsi terkait Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif oleh KKR Aceh ini berdasarkan ekspose kepolisian sendiri berlangsung antara Februari-Desember 2022. Rinciannya yaitu, perjalanan dinas dalam provinsi di 14 kabupaten/kota sebanyak 51 kali, dan perjalanan dinas di luar provinsi sebanyak empat kali, yakni ke Jakarta tiga kali, Bali ke satu kali.

Adapun mereka yang terlibat di dalam kasus dugaan korupsi tersebut totalnya berjumlah 58 orang. Terdiri dari tujuh orang komisioner KKR Aceh, 33 orang pokja, termasuk di dalamnya 18 orang staf sekretariat Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang dititip untuk memperbantukan KKR Aceh. Hasil audit investigasi Inspektorat Aceh menyatakan bahwa telah terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh Ketua Komisioner KKR Aceh, MY, dkk. 

Beberapa penyimpangan yang dimaksud yakni perjalanan dinas fiktif sebesar Rp 47,9 juta, mark up harga/biaya penginapan/hotel sebesar Rp 65,2 juta, waktu kepulangan lebih cepat dari hari terakhir penugasan sebesar Rp 45 juta, bill/pertanggungjawaban biaya penginapan fiktif sebesar Rp 78,3 juta, dan uang saku yang tidak sesuai ketentuan sebesar Rp 22,1 juta.

"Niat jahatnya sudah ada. Terbukti dengan motif-motif yang mereka lakukan, memalsukan bill hotel dan lain-lain sebagainya," sebut Hafijal M. Said.

Hafijal M. Said menegaskan bahwa dugaan korupsi di tubuh KKR Aceh tidak layak digolongkan sebagai 'kesalahan administratif', yang konsekuensinya diselesaikan melalui pendekatan administratif. Satu-satunya langkah yang benar dalam penanganan kasus ini yakni mengusut kasus ini hingga ke level selanjutnya, yakni penyidikan.

"Dengan begitu, ada keadilan dan kemanfaatan hukum untuk masyarakat Aceh, terutama korban konflik yang memang sampai hari ini masih banyak yang belum mendapatkan keadilan, hak-haknya belum terpenuhi, ditambah dengan kasus ini yang membuat korban konflik kehilangan kepercayaan pada KKR," tegas Hafijal M. Said.

Sebagai info, mengutip situs KKR Aceh, lembaga ini merupakan ejawantah dari salah satu amanah Nota Kesepahaman Damai antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 silam, yang selanjutnya diadopsi substansinya ke dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh. Visi lembaga ini yaitu terwujudnya integrasi sosial msyarakat Aceh yang berkeadilan dan bermartabat, yang salah satunya dilakukan dengan jalan pengungkapan kebenaran pelanggaran HAM masa lalu.

Sejumlah kritik beberapa kali dialamatkan kepada lembaga tersebut baru-baru ini. Seperti menarik diri secara kelembagaan dari upaya rekonsiliasi di Bener Meriah, juga terkait skema bantuan sosial oleh Pemerintah Aceh untuk pemulihan hak sebanyak 245 orang korban konflik yang dinyatakan tergolong sebagai penerima reparasi mendesak. Sesuai mandatnya, lembaga ini telah berhasil melakukan pengambilan pernyataan dari 5.785 orang korban/keluarga korban sejak komisioner periode perdana dilantik pada 2016.

3 dari 3 halaman

Preseden Buruk Penegakan Hukum

Dalam diskusi yang digelar di LBH Banda Aceh, Senin sore (23/10/2023), akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Syah Kuala, Khairil Akbar, menyebut nota kesepahaman yang diajukan sebagai pembenaran untuk menghentikan proses hukum kasus dugaan korupsi di tubuh KKR Aceh sebagai 'cara licik sekaligus picik' oleh instansi pemerintah yang bertujuan untuk mengibuli hak warga negara.

"Karena ini wilayahnya hukum materil dan hukum acara sebenarnya. Karena berada di wilayah itu dan dia pasti menyangkut dengan hak-hak kita, maka sebenarnya regulasi yang tepat itu hanya pada level undang-undang (UU Tipidkor). Bukan pada peraturan pemerintah atau bahkan sekadar MoU tadi. Mengapa saya bilang cara mengibuli karena itu tadi, di sanalah kemudian ketentuan-ketentuan tentang berapa yang akan ditindaklanjuti, berapa yang tidak, itu dituangkan," jelas Khairil Akbar.

Ia tidak dapat membayangkan jika nantinya kultur seperti ini diteruskan, di mana setiap penyelesaian penyimpangan keuangan negara kelar pada masing-masing level instansi pemerintah dengan mekanisme di luar hukum atau tanpa harus menyeret dugaan kasus korupsi itu ke ranah pengadilan sama sekali.

Keputusan kepolisian untuk menghentikan proses hukum kasus dugaan korupsi di tubuh KKR Aceh, yang menurut polisi tidak dilakukan secara sepihak, itu dipandang oleh Khairil Akbar bertolak belakang dengan yang namanya prinsip penegakan hukum pidana atau hukum acara, bahwa aparat penegak hukum didesain untuk menindaklanjuti semua perkara, bukan malah menghentikan proses hukum yang sedang dilakukan. Penghentian hanya mungkin terjadi pada level penuntutan.

Selain itu, dalih berdasarkan ketentuan yang diatur di dalam nota kesepahaman yang menjadi pijakan Polresta Banda Aceh tidak menindaklanjuti kasus ini, karena pemeriksaan atau penyelidikan yang berindikasi kerugian keuangan negara yang nilainya lebih kecil dari biaya penanganan perkara maka dari itu diberikan kesempatan untuk menyelesaikan secara administratif paling lambat 60 hari, juga dipandang 'konyol' oleh Khairil Akbar.

"Korupsi itu ada dendanya, dan kemudian pengembalian kerugian negara bisa diperoleh. Jadi, selain uang negara bisa kembali, misalnya kita anggap penangangan perkara korupsi 250 pengembalian kerugian negara 250 juga misalnya. Setimpal kita anggap, tetapi, kan, kita masih bisa denda dia?" ujar Khairil Akbar.

Sementara itu, Kepala Operasional LBH Banda Aceh, Muhammad Qodrat, melihat penghentian proses hukum pada tahapan penyelidikan oleh kepolisian ini malah terkesan akan kembali menjadi preseden buruk bagi khazanah penegakan hukum di Indonesia. Ia menilai adanya diskriminasi penegakan hukum yang telah menegaskan kembali adagium klasik bahwa 'hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas'. 

Muhammad Qodrat mengingatkan kembali bagaimana Nek Minah, warga Banyumas, Jawa Tengah, divonis bersalah dengan dakwaan pencurian tiga buah kakao milik Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA). Perempuan yang saat itu berusia 55 tahun pada 2009 silam dijatuhi hukuman penjara 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Dengan kasus dugaan korupsi di tubuh KKR Aceh ini, perbedaanya bak bumi dan langit.

"Ketika yang kena orang miskin, habis-habisan, ketika yang kena pejabat, permisif," ketus Muhammad Qodrat.

Muhammad Qodrat berkeyakinan pula bahwa tuntutan agar patuh terhadap hukum semestinya kewajiban yang utamanya ada pada pejabat publik baru kemudian masyarakat. Tetapi betapa kecelenya, pihak yang ditekankan untuk mematuhi hukum kini lebih diberatkan kepada rakyat, sementara pejabat cenderung dibiarkan. 

Muhammad Qodrat menerawang bahwa masa depan penegakan hukum terutama untuk kasus korupsi di Indonesia ditakutkan akan mengalami degradasi atau kemerosotan apabila aparat penegak hukum masih mengedepankan mekanisme penyelesaian berkaitan dengan dugaan penyimpangan keuangan negara di instansi pemerintah dengan nota kesepahaman antara Kemendagri, Kejaksaan, dan Kepolisian, yang ditandangani pada 2023, oleh M. Tito Karnavian, Burhanuddin, dan Listyo Sigit Prabowo.

"Ke depannya, kalau ada kasus-kasus serupa lainnya, polisi pasti tetap, 'kami ada MoU', hentikan saja. Dan saya pikir ini bukan kasus satu-satunya ke depan, selama MoU itu masih ada dan selama mereka mau memegang MoU itu, penegakan korupsi di Indonesia, dalam hal ini khususnya di Aceh itu akan terjadi impunitas," Muhammad Qodrat memungkasi.

Kembali pada sesi diskusi yang diikuti oleh Komisioner KKR Aceh, MY, ketika MY diminta untuk mengundurkan diri dari kepengurusan KKR Aceh, waktu itu dengan berat hati yang bersangkutan mengatakan bahwa dia dan para komisioner lainnya tidak mungkin meninggalkan lembaga tersebut dan tetap akan melaksanakan mandat hingga masa tugas purnabakti kelak. Ia juga menantang, jika benar terdapat pihak yang tidak puas dengan kinerja KKR Aceh yang kini ia pimpin, maka itu harus dibuktikan dengan survei. Sungguh mencerminkan sebuah sikap yang kesatria.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat