uefau17.com

Drama Penyergapan Mbah Suro Nginggil, Si Dukun PKI yang Kebal Senjata - Regional

, Blora - Moelyono Soeradihardjo atau lebih dikenal dengan sebutan Suro Nginggil merupakan tokoh fenomenal dari Blora. Dia dukun atau paranormal asal Desa Nginggil, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora. Konon, Suro Nginggil menjadi rujukan para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) mencari kesaktian, terutama ilmu kebal senjata.

Suro Nginggil menurut riwayatnya lahir 17 Maret 1921, dari orangtua bernama Reksosumito dan Saripah. Dia selama 10 tahunan pernah menjabat Kepala Desa Nginggil. Yakni, mulai 1952 hingga dirinya mengundurkan diri dari pada 1962.

Berdasarkan guntingan literatur terbitan Dinas Dokumentasi Pusat Sejarah ABRI, Suro Nginggil namanya santer disebut-sebut saat pemberontakan antipancasila meletus di Blora, sekitar Januari 1966. Memiliki kelebihan ilmu pengobatan dan pengetahuan supranatural, membuatnya jadi tujuan banyak orang yang sedang berkesusahan.

Tak pelak, pada pertengahan Februari 1966, banyak anggota ABRI yang berdatangan meminta jamu-jamu dan ilmu kekebalan. Tak hanya itu, banyak juga yang datang untuk alasan persoalan asmara dan nasib. Sejak itulah, terlihat adanya tokoh-tokoh tjantrik seperti Suradi Letda B.T., Legi Letda B.T., Kobra ex K.K.O., Sunjoto ex. K.K.O., Tjamat Menden yang dipergunakan oleh Suro Nginggil untuk mengatur ketata tertiban para pengunjung pertapaan padepokannya serta melayani para tamu yang akan minta berkah.

Bulan berikutnya, yakni pada Maret 1966, tiap hari terlihat ribuan pendatang, sehingga dalam pertapaan padepokan Suro Nginggil terlihat perubahan-perubahan baru. Antara lain tjantrik mulai memakai pakaian seragam hitam dan menggunakan badge dengan gambar gapuro Modjopahit dengan tulisan ‘Pertapaan Gunung Kendeng’.

Sejak inilah disinyalir adanya unsur-unsur Kontrev G-30 S banyak mendatangi tempat pertapaan Suro Nginggil. Dan terlihat kegiatan-kegiatan aliran atau pengaruh pembentukan barisan Sukarno dengan menggunakan badge bertuliskan, "AKU PENDUKUNG SOEKARNO".

Kala itu, Suro Nginggil ajaran kleniknya makin menjadi-jadi, padepokannnya digunakan untuk menampung pelarian-pelarian PKI. Tidak hanya warga masyarakat awam saja yang datang untuk sungkem dan mengabdi kepadanya, tetapi terdapat juga pelarian dari berbagai kesatuan tertentu ikut menyatu bersama-sama sisa-sisa pengikut PKI.

Tidak sembarang orang begitu saja dapat menemui Suro Nginggil karena sudah dinobatkan menjadi pimpinan tertinggi dan kedudukannya seperti raja di tempat itu. Kalaupun sekali-kali muncul, dirinya memakai upaya kebesaran dan disambut oleh rakyat dengan teriakan-teriakan 'Hidup Mbah Suro'.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pentung, Kolor, dan Iket

Pada upacara resmi, menurut dokumentasi ABRI, Suro Nginggil kerap digunakan untuk pertemuan beragam orang. Di situ kerap dibacakan pidato yang pokok-pokok isinya ditetapkan PKI. 

Pada Februari 1967, dokumentasi ABRI menyebut ada pasukan yang dibentuk di Suro Nginggil, mereka diberi nama 'Banteng Ulung' dan 'Banteng Sarinah' (untuk wanitanya). Pasukan ini berseragam hitam-hitam sejak ujung rambut hingga mata kaki, dilengkapi dengan bendera, mars perjuangan, senjata tajam dan api.

Bagi yang tidak bersenjata api, senjata yang terkenal dipakai oleh pasukan banteng ulung dan banteng sarinah adalah pentung, kolor, dan iket (singkatan dari PKI). Senjata tersebut telah diberi mantra atau jampi oleh Suro Nginggil dan tidak ketinggalan para anggota pasukan diberi kekebalan, sehingga mereka benar-benar yakin bahwa dirinya telah menjadi digdaya dan kebal terhadap berbagai senjata.

Berdasarkan itu, kelihatan bahwa padepokan Nginggil yang dipimpin Suro Nginggil makin lama makin menyeleweng. Semakin banyak orang datang kesana dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang PKI atau simpatisan-simpatisannya, dan mencapai puncaknya pada bulan-bulan awal 1967.

Tentunya kejadian ini membuat petugas resah. Kala itu, tindakan pertama yang diambil Pangdam VII Diponegoro pada 22 Oktober 1966 adalah perintah penutupan terhadap pertapaan padepokan Nginggil. Perintah tersebut segera dilaksanakan oleh Mayor Srinardi Dandim 0721 Blora selaku pepekuper (pembantu pelaksana kuasa perang) Kabupaten Blora.

Tetapi perintah itu sama sekali tidak dihiraukan. Suro Nginggil akhirnya dipanggil yang berwajib di Blora, melalui seorang utusan bernama Sersan Salim. Utusan ini dikeroyok dan dipukuli oleh kaki tangannya hingga babak belur.

Selanjutnya dicoba lagi mengirim dua orang anggota Kodim 0721 Blora yaitu Peltu Achmat Tego dan Sersan Prapto. Kedua orang ini meski dikenal baik dengan Suro Nginggil, namun kembali dengan tangan hampa. Begitu pula dengan utusan ketiga yang terdiri dari Inspektuf I Darsono, Brig. Pol. Widodo dan Brig.Pol. Satam, yang juga tidak membawa hasil.

Pembangkangan semakin menjadi-jadi dan mencapai klimaknya pada awal Februari 1967. Dimana sejumlah orang dibunuh dan yang meninggal dua orang karena berani memasuki wilayah kekusaan Suro Nginggil tanpa izin. Kala itu, pemerintah masih tetap sabar dan mengirim surat peringatan kepada Suro Nginggil agar mau bertaubat.

Setelah Suro Nginggil tidak dapat berunding untuk menyelesaikan persoalan padepokannya, antara lain tentang perdukunan klenik, pembunuhan yang dilakukan tjantrik-tjantrik, pembentukan pasukan Banteng ulung dan Banteng Sarinah, serta adanya konsolidasi kembali partai terlarang PKI, maka tidak ada jalan lain lagi, selain harus ditindak tegas.

 

3 dari 3 halaman

Operasi Militer

Kemudian keluarlah perintah operasi Pangdam VII Diponegoro pada 5 Maret 1967 untuk menangkap Suro Nginggil dan pengikutnya yang mengadakan petualangan dan pembangkangan. Padepokannya lalu dikepung oleh Yon 410, sebagian Yon 408 dan 409, RPKAD serta tidak ketinggalan pula Ki Hansip Bamunas Kabupaten Blora.

Dalam operasi ini, sebetulnya petugas dilarang melakukan tembakan kalau tidak terpaksa. Tetapi pasukan banteng ulung dan banteng Sarinah, yang begitu percaya bahwa pertahanan mereka kuat dan menganggap kebal senjata, kemudian menyerang dan melakukan penembakan.

Ada tiga petugas yang gugur dalam peristiwa ini, dua petugas yang luka berat, dan dua petugas yang luka ringan. Melihat situasi kritis ini, kemudian terjadilah pertempuran hebat berlangsung mulai jam 05.00 WIB sampai dengan jam 15.00 WIB.

Dengan taktik operasi penyerbuan yang dilakukan petugas, akhirnya pada jam 16.00 WIB seluruh Desa Nginggil sudah dapat dikuasai. Dalam pertempuran ini, Suro Nginggil dan 80 orang pengikutnya mati (semua dalam padepokan), dan ada 1500 orang pengikutnya Suro Nginggil menyerah/menjadi tawanan, serta 113 rumah terbakar.

Dijelaskan oleh pemerhati sejarah Blora, RNgt Widyasintha Himayanti, dari 1500 orang tawananan setelah disergap dan discreen, mereka yang tidak tersangkut dan tidak perlu ditahan lebih lama lagi karena konsekwensi perawatan dan lain-lain, kemudian dikembalikan ke tempat masing-masing.

"Dari sumber sejarah yang pernah saya pelajari, setelah diadakan penelitian ternyata pengikut-pengikut Suro Nginggil beberapa diantaranya adalah anggota ABRI," katanya.

Lebih lanjut dijelaskan, pada waktu terjadi insiden pertempuran itu, petugas tidak bisa membedakan mana yang anggota ABRI dan mana yang bukan.

"Karena semua yang ada di padepokan Suro Nginggil memakai pakaian hitam-hitam, ikat kepala hitam, sebagian berambut panjang, memakai tanda gambar banteng, dan komandan-komandan memegang stok komando," Pungkas Widyasintha kepada , Rabu (30/9/2020).

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat