uefau17.com

Profil Tirto Adhie Soerjo, Bapak Pers Nasional yang Sempat Jadi Mahasiswa Kedokteran STOVIA - Lifestyle

, Jakarta - Bertepatan dengan Hari Pers Nasional 2022 yang dirayakan setiap 9 Februari, tidak ada salahnya untuk mengenal sosok Bapak Pers Nasional, Tirto Adhie Soerjo. Priyayi yang bergelar Raden Mas Tirto Adhie Soerjo itu ditetapkan sebagai Bapak Pers Nasional oleh Dewan Pers pada 1973. Berkat jasanya, pemerintah menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional pada 3 November 2006.

Dikutip dari laman Kebudayaan Kemendikbud, Rabu (9/2/2022), Tirto lahir di Blora pada 1880. Ia merupakan anak dari Bupati Bojonegoro, Jawa Timur, saat itu, yakni Raden Ngabehi Muhammad Chan Tirtodipuro dan cucu Raden Mas Tumenggung Tirtonoto. 

Dikutip dari kanal Regional , nama asli Tirto Adhie Soerjo sebenarnya adalah RM Djokomono. Namun, ia memutuskan mengganti namanya setelah melepas gelar kebangsawanannya untuk memperjuangkan hak-hak orang Indonesia saat itu lewat bidang jurnalistik.

"Di tahun 1917 Masehi, RM Djokomono yang pada saat itu usianya baru 37 tahun, namanya mulai muncar dengan nama RM Tirto Adhi Soerjo (TAS)," kata keturunan RMAA Tjokronegoro III yang bernama Raden Nganten (RNgt) Ratnasari Puspitarini kepada , Sabtu, 8 Februari 2020. RMAA Tjokronegoro III merupakan Bupati Blora sekaligus sepupu dari ayahanda Tirto.

Harum di dunia jurnalistik, siapa sangka Tirto Adhie Soerjo pernah mengenyam pendidikan kedokteran. Ia merupakan salah satu mahasiswa Stovia pada 1893--1900, tetapi akhirnya terputus di tengah jalan karena sibuk menulis di media massa.

Kariernya di bidang jurnalistik berlanjut saat ia memimpin surat kabar yang didirikannya, Soenda Berita pada 1901. Surat kabar itu menjadi surat kabar pertama yang dibiayai, dikelola, disunting, dan diterbitkan oleh pribumi.

Selepas Soenda Berita, Tirto mendirikan media mingguan bernama Medan Priyayi pada 1909. Pada tahun yang sama, Tirto juga mendirikan perusahaan penerbitan pertama di Indonesia, N.V Javaansche Boekhandelen Drukkerij "Medan Priyayi", bersama Haji Mohammad Arsjad dan Pangeran Oesman. Namun, media ini berhenti terbit pada 1912. 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Karir Jurnalistik

Dikutip dari laman Merdeka.com, Tirto diketahui lama tinggal di Bandung, Jawa Barat. Di Kota Kembang itulah ia mendirikan tiga surat kabar, yakni Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), dan Poetri Hindia (1908).

Sejak usia muda, ia rajin mengirimkan tulisan-tulisannya ke sejumlah surat kabar dalam bahasa Belanda dan Jawa. Ia juga pernah membantu Chabar Hindia Olanda pimpinan Alex Regensburgh selama dua tahun sebelum pindah menjadi redaktur Pembrita Betawi, pimpinan F. Wriggers, yang tak lama kemudian digantikannya.

Sementara, Medan Prijaji dianggap sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu dalam penyampaiannya dan seluruh prosesnya dikerjakan oleh warga pribumi. Medan Prijaji begitu digemari oleh masyarakat pada waktu itu karena memiliki rubrik khusus yang menyediakan penyuluhan hukum gratis.

Tak hanya di dua media massa itu, ia juga berperan aktif baik sebagai penulis maupun pemimpin dalam beragam media massa lainnya, seperti Soeloeh Keadilan, Sarotomo, Soeara B.O.W, Soeara Spoor, dan Tram. Menurut dia, pers bertugas untuk memajukan dan memahami hak-hak dan martabat rakyat. Dia melihat profesinya sebagai sarana untuk menyadarkan masyarakat dalam menjawab persoalan yang timbul.

3 dari 4 halaman

Diasingkan

Ia dikenal sebagai jurnalis yang memiliki pena tajam. Karena keberaniannya, ia sempat diasingkan selama dua bulan pada 18 Maret 1910 hingga 19 Mei 1910 ke Telukbetung, Lampung.

Hukuman itu diberikan karena ia membuat artikel tentang dugaan persekongkolan antara Calon Pengawas Purworejo A Simon dengan Wedana Tjokrosentono terkait pengangkatan Lurah Desa Bapangan, Distrik Cangkrep, Purworejo. Tulisan itu dimuat di Medan Prijaji edisi 1909.

Tirto kembali diasingkan pada 1912 ke tempat yang lebih jauh, yakni Maluku. Pada 1914, ia kembali ke Batavia dan berusaha kembali membangkitkan kejayaannya. Namun, ia tak kuasa hingga akhirnya meninggal dunia pada 7 Desember 1918 pada usia 37 tahun. Ironisnya, tak satu pun surat kabar saat itu yang memuat berita kematiannya.

4 dari 4 halaman

Tingkat Konsumsi Media

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat