uefau17.com

Aturan Pemakzulan Presiden di Indonesia, Ada dalam UUD 1945 - Hot

, Jakarta Pemakzulan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah suatu proses, cara, atau perbuatan memakzulkan. Kata ini berasal dari kata dasar "makzul," yang berarti berhenti memegang jabatan atau proses turun takhta. Meskipun makzul secara khusus mengacu pada berhenti memegang jabatan, pemakzulan dalam konteks bahasa Indonesia memiliki makna yang lebih luas dan sedikit berbeda.

Dalam konteks politik, pemakzulan atau impeachment merupakan suatu proses atau tindakan yang bertujuan untuk menyingkirkan seorang pejabat pemerintah dari jabatannya, termasuk presiden. Proses ini terjadi melalui penjatuhan dakwaan secara resmi oleh sebuah badan legislatif terhadap pejabat yang bersangkutan. Aturan pemakzulan presiden di Indonesia ternyata ada dalam Undang-undang Dasar 1945. 

Pemakzulan presiden tidak dapat dilakukan dengan sembarangan, melainkan harus melibatkan lembaga legislatif atau badan pengawas pemerintahan. Prosedur ini biasanya diinisiasi ketika terdapat tuduhan pelanggaran serius yang dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan. Lembaga legislatif akan memproses dan menilai apakah bukti yang ada mendukung tuduhan tersebut sesuai dengan aturan pemakzulan presiden di Indonesia.

Secara esensial, pemakzulan menjadi mekanisme penting dalam sistem pemerintahan untuk menjaga akuntabilitas pejabat publik. Proses ini memastikan bahwa pejabat yang terlibat dalam tindakan yang merugikan atau melanggar hukum dapat diadili dan diberhentikan dari jabatannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Berikut ulasan lebih lanjut tentang aturan pemakzulan presiden di Indonesia yang rangkum dari berbagai sumber, Rabu (17/1/2024).

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pemakzulan Presiden Dalam Undang-undang Dasar 1945

Pemakzulan Presiden di Indonesia merupakan suatu proses yang diatur oleh Pasal 7A UUD 1945. Aturan ini menegaskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Terdapat dua alasan yang dapat menjadi dasar pemberhentian tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Hamdan Zoelva dalam bukunya "Impeachment Presiden."

Pertama, pemberhentian dapat dilakukan jika Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum tersebut melibatkan penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Pasal ini memberikan dasar hukum yang kuat untuk mengambil tindakan tegas terhadap presiden yang terlibat dalam tindakan yang merugikan negara atau melanggar hukum dengan serius.

Kedua, presiden juga dapat diberhentikan jika terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Hal ini menunjukkan bahwa pemberhentian tidak hanya terkait dengan pelanggaran hukum tetapi juga dengan kemampuan dan kelayakan presiden untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Dengan adanya ketentuan ini, UUD 1945 memberikan landasan untuk memastikan bahwa presiden yang menjabat memenuhi standar yang ditetapkan oleh konstitusi.

Aturan pemberhentian presiden di Indonesia melalui proses pemakzulan menegaskan komitmen pada prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas dalam menjaga integritas kepemimpinan negara. Pasal 7A UUD 1945 memberikan landasan hukum yang jelas untuk tindakan pemberhentian presiden, sehingga proses ini dapat dilakukan dengan kehati-hatian dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang dianut oleh Indonesia.

3 dari 4 halaman

Mekanisme Pemakzulan Presiden di Indonesia

Proses pemakzulan Presiden di Indonesia diatur oleh Pasal 7B dalam konstitusi. Proses ini melibatkan tahapan panjang serta keterlibatan banyak pihak dalam rangka memastikan keadilan dan akuntabilitas. Berikut adalah rincian proses pemakzulan presiden di Indonesia

1. Usul Pemberhentian oleh DPR

DPR memiliki wewenang untuk mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. Sebelumnya, DPR harus mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum.

2. Dukungan DPR dan Permintaan ke MK

Pengajuan permintaan ke MK hanya dapat dilakukan jika didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna, yang juga dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.

3. Pemeriksaan oleh MK

MK memiliki kewajiban untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR terkait pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden. MK diharuskan untuk menyelesaikan proses tersebut dalam waktu paling lama 90 hari setelah menerima permintaan dari DPR.

4. Sidang Paripurna DPR dan Keputusan MK

Jika MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, DPR menyelenggarakan sidang paripurna. Dalam sidang paripurna tersebut, DPR akan meneruskan usul pemberhentian ke MPR.

5. Sidang MPR dan Keputusan Pemberhentian

MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul pemberhentian dalam waktu paling lambat tiga puluh hari setelah menerima usul dari DPR. Keputusan MPR harus diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota, dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Sebelum keputusan diambil, Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.

4 dari 4 halaman

Pemakzulan Presiden yang Pernah Terjadi di Indonesia

Pemakzulan Presiden telah menjadi bagian dari sejarah politik di Indonesia. Tiga presiden, Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mengalami pemakzulan dengan konteks dan dinamika politik yang berbeda. Perjalanan mereka menggambarkan kompleksitas proses pemakzulan dan sekaligus menunjukkan betapa kekuatan politik dapat memainkan peran dominan dalam penggulingan seorang presiden.

Soekarno, presiden pertama Indonesia, mengalami pemakzulan yang dianggap sebagai "kudeta halus." Meskipun secara resmi dilakukan oleh MPRS, namun pada kenyataannya, Soeharto telah memegang kekuasaan secara de facto. Pemakzulan ini menimbulkan perdebatan mengenai konsistensi dengan UUD 1945, dan dapat dianggap sebagai puncak dari perubahan politik pada saat itu.

Soeharto yang memerintah selama hampir 32 tahun, akhirnya mengundurkan diri dan memakzulkan dirinya sendiri. Langkah ini diambil untuk menghindari konsekuensi hukum dan kemarahan rakyat, terutama terkait dengan praktik korupsi dan kolusi selama pemerintahannya. Pemakzulan Soeharto membuka babak baru dalam politik Indonesia.

Gus Dur, meskipun terpilih secara demokratis, mengalami pemakzulan oleh MPR. Pemakzulan ini dilakukan tanpa proses hukum yang panjang. Pemakzulan ini  terkait dengan dekritnya yang membubarkan MPR, DPR, dan Partai Golkar. 

Pemakzulan presiden di Indonesia telah menunjukkan bahwa meskipun ada ketentuan konstitusional yang mengatur pemakzulan, dalam praktiknya kekuatan politik dapat memiliki dampak besar. Beberapa kasus pemakzulan terjadi tanpa proses hukum yang memadai, meninggalkan pertanyaan tentang keseimbangan antara kekuatan politik dan keadilan hukum.

 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat