uefau17.com

Rupiah Terpuruk, DPR RI Minta Pemerintah Tak Tutup Mata - Bisnis

, Jakarta Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah meminta pemerintah mulai mengantisipasi dampak pelemahan nilai tukar rupiah. Dia juga meminta pemerintah tak menutupi kondisi saat ini kepada masyarakat.

Said menyadari kondisi pelemahan nilai tukar rupiah dan berbagai indikator lainnya menunjukkan kondisi yang tidak baik-baik saja. Maka, dia meminta perlu upaya menjaga kondisi ekonomi serta mengedepankan rakyat.

"Situasi kita tidak mudah, dan harus menjadikan keadaan itu sebagai national bonding. Kesampingkan terlebih dahulu kepentingan kepentingan sesaat, diantara para elit. Sebab jika keadaan ekonomi ini semakin memburuk, lagi-lagi yang akan menerima resiko paling awal adalah rakyat kita sendiri," ujar Said Abdullah dalam keterangannya, Senin (19/6/2024).

Dia berharap para pejabat terkait tidak menutupi kondisi yang djalami saat ini. Namun, disampaikan sesuai dengan kondisinya, agar dapat diantisipasi kedepannya.

"Saya benar benar mengharapkan pemangku kebijakan untuk tidak membuat komunikasi publik, bahwa kita sedang baik baik saja. Sampaikan keadaan seobyektif mungkin, agar rakyat sejak dini bisa bersiap menghadapi segala kemungkinan, dan bersatu padu," pintanya.

Level Rupiah

Data Said menyampaikan, secara years to date, Rupiah di level 15.317-16.483 per USD. Dibandingkan dengan tahun lalu, posisi rupiah minus 5,25 persen. Kecenderungan rupiah loyo disebabkan situasi eksternal dan internal. Belakangan investor menarik diri, khususnya dalam perannya sebagai buyer di Surat Berharga Negara (SBN).

"Investor asing melepas SBN sejak pandemi Covid 19. Pada tahun 2019, porsi asing dalam SBN sebanyak 38,5 persen, setahun kemudian tinggal 25,1 persen, dan akhir Mei 2024 tersisa 14 persen. Perginya investor asing pada SBN mengakibatkan kepemilikan US Dolar (USD) juga kian menurun," tuturnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Harga CPO Anjlok

Kemudian, ada kondisi harga komoditas ekspor andalan Indonesia seperti batubara, dan CPO pada tahun 2023 dan 2024 tidak setinggi tahun 2022. Sejak pertengahan tahun 2023 hingga kini harga batubara hanya dikisaran 120-an USD/ ton, padahal awal kuartal II 2022 hingga kuartal I 2023 harga batubara dilevel 400 USD/ton. Demikian halnya dengan harga CPO yang tidak lebih menguntungkan dari tahun 2022.

Harga CPO di tahun 2022 dilevel 4.200-4.400 Ringgit/ton, sedangkan kini hanya 3.800-3.900 Ringgit/ton. Menurunnya dua komoditas andalan Indonesia ini tidak membuat dompet devisa negara tebal.

"Disaat yang sama, pemerintah malah membuka keran impor. Besarnya arus impor ini membuat arus USD makin pergi. Bukan hanya rupiah yang terpukul karena meluaskan kran impor, sejumlah industri dalam negeri seperti tekstil malah gulung tikar dan merumahkan karyawannya," tegas Said Abdullah.

 

3 dari 3 halaman

Faktor Ekseternal

Bukan cuma itu, Said mencatat, dari sisi eksternal, perekonomian Amerika Serikat (AS) perlahan lahan makin membaik sejak badai inflasi ditahun 2022. Penguatan perekonomian AS ini membuat investor memilih meninggalkan Indonesia, akibatnya tiada pundi-pundi devisa baru.

Alhasil, tahun lalu saja current account Indonesia defisit 1,6 USD Billion. Bahkan food trade deficit Indonesia pada tahun 2023 menyentuh 5,3 USD Billion, angka tertinggi selama republik ini berdiri.

"Hendaknya kita juga jangan terlena dengan data inflasi rendah di level 3 persen. Sebab inflasi rendah semata mata tidak bisa kita baca sebagai terkendalinya harga kebutuhan pokok rakyat. Jika disandingkan dengan sejumlah data lainnya seperti berlanjutnya keputusan sejumlah industri merumahkan karyawan, tingkat konsumsi rumah tangga pada tahun 2023 dan (tahun) berjalan 2024, tidak setinggi tahun 2022," bebernya.

Lalu, survei tingkat penjualan eceran jenis sandang oleh BI sejak pandemi di tahun 2020 sampai sekarang belum pulih masih di level 51,8 – 57, sedangkan periode sebelum pandemi di kisaran 150 – 240. Data ini memperlihatkan, daya beli rakyat sedang tidak baik baik saja.

"Hampir dipastikan The Fed masih akan bertahan di suku bunga tinggi, dan ketidakmenentuan geopolitik global, yang akan mendorong kebijakan restriktif oleh masing masing negara, demi mengamankan kepentingan nasional mereka masing masing," pintanya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat