uefau17.com

Peran Perempuan dan Pria dalam Membuat Jamu di Zaman Kerajaan Mataram - Lifestyle

, Jakarta - Jamu menjadi salah satu warisan di Indonesia yang telah turun-temurun dilakukan. Meminum jamu dipercaya dapat menjaga kesehatan dan menyembuhkan ragam penyakit.

Dikutip dari laman indonesia.go.id, Selasa, 22 Agustus 2023, tradisi minum jamu diperkirakan telah ada sejak 1300 M. Jamu Indonesia disajikan dengan berbagai jenis karena di Tanah Air dilimpahi tanaman herbal.

Setiap daerah mempunyai jenis jamu yang berbeda, menyesuaikan dengan tanaman herbal yang tumbuh di daerahnya. Mengolah jamu tidak terlalu rumit, didominasi dengan cara mengambil sari dari perasan tumbuhan herbal.

Selain itu, ada juga jamu yang ditumbuk dan sering kali berbahan dasar kunyit, temulawak, lengkuas, jahe, kencur, dan kayu manis. Khusus gula jawa, gula batu, dan jeruk nipis biasanya digunakan sebagai penambah rasa segar dan rasa manis.

Dalam pembuatan jamu juga disesuaikan takaran tiap bahan, suhu, lama menumbuk atau merebus, dan lainnya. Jika tidak diperhatikan dengan baik, akan kehilangan khasiat dari bahan-bahannya bahkan bisa membahayakan tubuh.

Begitu juga dengan perkembangannya, tradisi minum jamu mengalami pasang surut sesuai zamannya. Secara garis besar terbagi dari zaman pra-sejarah saat pengolahan hasil hutan marak berkembang, zaman penjajahan Jepang, zaman awal kemerdekaan Indonesia, hingga saat ini.

Masyarakat Indonesia sejak zaman Kerajaan Mataram hingga kini masih mengonsumsi jamu. Sejak saat itu, perempuan lebih berperan dalam memproduksi jamu, sedangkan pria berperan mencari tumbuhan herbal alami.

Fakta itu diperkuat dengan adanya temuan artefak cobek dan ulekan, yakni alat tumbuk untuk membuat jamu. Artefak itu dapat dilihat di situs arkeologi Liyangan yang berlokasi di lereng Gunung Sindoro, Jawa Tengah.

 

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Bukti Artefak Cobek dan Ulekan

Selain artefak cobek dan ulekan, ditemukan pula bukti-bukti lain seperti alat-alat membuat jamu yang banyak ditemukan di Yogyakarta dan Surakarta, tepatnya di Candi Borobudur pada relief Karmawipangga, Candi Prambanan, Candi Brambang, dan beberapa lokasi lainnya. Konon di zaman dulu, rahasia kesehatan dan kesaktian para pendekar dan petinggi-petinggi kerajaan berasal dari latihan dan bantuan dari ramuan herbal.

Seiring perkembangannya, tradisi minum jamu sempat mengalami penurunan, tepatnya saat pertama kali ilmu modern masuk ke Indonesia. Saat itu, kampanye obat-obatan bersertifikat sukses mengubah pola pikir masyarakat Indonesia sehingga minat terhadap jamu menurun.

Selain soal standar atau sertifikat, khasiat dari jamu pun turut dipertanyakan. Pada masa penjajahan Jepang, sekitar 1940-an, tradisi minum jamu kembali populer karena telah dibentuknya komite Jamu Indonesia.

Kepercayaan khasiat terhadap jamu kembali meningkat. Seiring berjalannya waktu, penjualan jamu pun menyesuaikan dengan teknologi, yang telah banyak dikemas dalam bentuk pil, tablet, atau juga bubuk instan yang mudah diseduh.

Saat itu berbenturan dengan menurunnya kondisi pertanian Indonesia yang mengakibatkan beralihnya ke dunia industri termasuk industri jamu. Pada 1974 hingga 1990, banyak berdiri perusahaan jamu dan semakin berkembang. Pada era itu juga ramai diadakan pembinaan-pembinaan dan pemberian bantuan dari pemerintah agar pelaku industri jamu dapat meningkatkan aktivitas produksinya.

3 dari 4 halaman

Proses Dokumentasi Jamu dalam 5 Periode

Dikutip dari "Jamu Ramuan Tradisional Kaya Manfaat"oleh Rifqa Army, Senin, 31 Juli 2023, jamu Indonesia telah ada sejak zaman nenek moyang. Namun, tidak banyak data yang didokumentasikan secara tertulis. Selama ini jamu hanya diwariskan secara lisan. Dalam buku "The Power of Jamu", proses dokumentasi jamu dibagi dalam lima periode, yakni:

1. Periode Prasejarah

Berdasarkan penelitian, ditemukan fosil manusia tertua di Ethiopia pada 1967. Penemu fosil tersebut adalah Arambourg dan Coppens. Fosil manusia tertua tersebut dinamai sementara Paraustralopithecus aethopicus. Diperkirakan manusia jenis ini juga pernah tinggal di Indonesia. Pada masa selanjutnya ada genus manusia lebih modern yang pernah mendiami Indonesia, yaitu Pithecantropus.

Di Indonesia jenis manusia ini diwakili oleh Pithecantropus erectus yang terdiri atas empat laki-laki dan dua perempuan serta Pithecantropus soloensis yang terdiri atas lima laki-laki dan tujuh perempuan. Pithecantropus di Indonesia jumlahnya terlalu sedikit untuk dapat mengetahui penggunaan biomedisin sebagai terapi pengobatan.

Manusia purba pada masanya juga dijangkiti oleh penyakit yang beraneka ragam. Saat penelitian ditemukan bahwa Pithecantropus erectus menderita exostosis pada femurnya yang mungkin didahului oleh inflamasi. Hal itu dapat disimpulkan bahwa berbagai golongan penyakit juga sudah ada buktinya sejak zaman Neolitik dan penyakit-penyakit tersebut, yakni penyakit genetik dan konginetal, penyakit neoplastis, penyakit infeksi dan parasit, penyakit traumatis, penyakit metabolisme dan penyakit degeneratif.

2. Periode Sebelum Kolonial (Sebelum 1600)

Pada abad ke-8 ditemukan bukti mengenai penggunaan tanaman secara internal (oral) daneksternal (topikal). Pada 825M di dinding Candi Borobudur terdapat relief pohon Kalpataru, yakni pohon mitologis yang melambangkan 'kehidupan abadi'.

Pada relief tersebut di bawah pohon Kalpataru terdapat orang sedang menghancurkan bahan-bahan untuk pembuatan jamu. Selain itu, pada dinding Candi Borobudur juga ditemukan relief perempuan yang sedang mencampur tanaman untuk pemulihan dan perawatan tubuh.

Dokumen lama atau naskah kuno lain ditemukan di Bali yang ditulis pada daun lontar kering. Pada umumnya ditulis dalam bahasa Sanskerta atau bahasa Jawa kuno. Sebagai contoh istilah usada atau usadi yang berarti 'obat' ditemukan dalam kitab Kakawin Ramayana, sarga1–9 pada 898--910 M. Pada 1460--1550M, Dan Hyang Dwijendara, seorang yang memiliki pengetahuan tentang pengobatan tradisional, telah mengembangkan sistem pengobatan yang disebut Agen Balian Sakti.

4 dari 4 halaman

3. Periode Kolonial (1600--1942)

Masyarakat suku Jawa menulis resep jamu obat tradisional dari tanaman dan dikenal sebagai Serat atau Primbon. Salah satu yang terkenal adalah Serat Centhini yang didokumentasikan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III, Pangeran Sunan Pakubuwono IV (1788--1820).

Selain itu, ada naskah-naskah kuno lain yang menceritakan tanaman obat Jawa, seperti Serat Kawruh Bab "Jampi-Jampi" yang diterbitkan pada 1831, Serat Wulang Wanita (Paku BuwonoIX), Candra Rini (Mangku Negara IV, 1792), buku Nawaruci Paraton, dan lainnya.

4. Periode Jepang (1942--1945)

Seminar pertama tentang jamu diselenggarakan di Solo pada 1940. Setelah itu dilanjutkan dengan pembentukan Panitia Jamu Indonesia yang dipimpin oleh Prof. Dr. Sato, Kepala Jawatan Kesehatan Rakyat.

Panitia ini bertugas untuk mengimbau para pengusaha jamu secara sukarela mendaftarkan resep pribadi mereka untuk diperiksa dan dinilai oleh Jawatan Kesehatan Rakyat. Pada akhir 1944, diumumkan beberapa tanaman obat terpilih pada harian Asia Raya, yakni biji kopi dan daun pepaya untuk disentri, daun ketepeng, kulit batang pule, daun sirih, bunga belimbing wuluh, dan cengkih untuk penyakit TBC.

5. Periode Kemerdekaan

Bung Karno memberikan perhatian yang cukup besar dalam pengembangan obat tradisional. Pada 1965 ketika berpidato pada Dies Natalis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, presiden memperkenalkan enam orang sinse dari China yang khusus didatangkan untuk mengobati penyakit ginjal yang dideritanya.

Pada 1949, seorang staf pengajar farmakologi di Universitas Indonesia membuat laporan daftar tanaman berkhasiat pengganti obat impor, yakni johar, kecubung, upas raja, kolkisin, dan lidah buaya. Kemudian pada 1950, Werkgroep voor Minidinale Plante didirikan untuk memfasilitasi penelitian-penelitian tanaman obat di Indonesia.

 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat