uefau17.com

Serba-serbi Asam Jawa, Salah Satu Campuran Jamu Gendong - Lifestyle

, Jakarta - Jamu merupakan warisan leluhur secara turun temurun. Secara sederhana dapat dipahami bahwa jamu adalah obat herbal dari Indonesia yang dibuat dari bahan-bahan alami berupa berbagai bagian dari tumbuhan, seperti daun, rimpang, batang, buah, bunga, dan kulit batang.

Dikutip dari buku "Jamu Gendong, Solusi Sehat Tanpa Obat" oleh Sukini, Rabu, 15 Maret 2023, jamu gendong dibuat dari bahan-bahan alami, yaitu dari tanaman yang berkhasiat sebagai obat. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat jamu gendong ada yang berupa tanaman segar, ada pula yang berupa bahan baku kering.

Salah satu campuran di jamu gendong adalah Asam jawa (Tamarandus indica). Ini sejenis buah yang rasanya masam. Asam jawa biasa digunakan sebagai campuran bumbu dan penambah rasa asam pada makanan.

Jamu gendong yang menggunakan asam jawa sebagai salah satu bahannya adalah jamu kunyit asam. Jamu ini banyak digemari karena rasanya yang segar dan manfaatnya yang banyak. Untuk pembuatan jamu gendong, digunakan buah asam yang sudah matang.

Pohon asam berukuran besar. Diameter pada pangkal batang dapat mencapai 2 meter, sedangkan tingginya dapat mencapai 30 meter. Pohon ini selalu hijau (tidak mengalami masa gugur daun). Kulit batangnya berwarna dapat mencapai 30 meter. Pohon ini selalu hijau (tidak mengalami masa gugur daun). Kulit batangnya berwarna cokelat keabu-abuan. Sementara itu, buah asam berbentuk bulat agak pipih.

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Manfaat Buah Asam

Saat masih muda, daging buah asam berwarna putih kehijauan. Ketika sudah matang, buah asam berwarna merah kecokelatan sampai kehitaman. Biji asam berwarna cokelat kehitaman, mengilap, dan keras. Pohon asam dapat tumbuh dengan baik di daerah dengan ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut, pada tanah berpasir atau tanah liat.

Pohon asam biasa ditanam di tepi jalan sebagai peneduh. Manfaat buah asam untuk kesehatan, antara lain meredakan sariawan, membantu mengatasi darah rendah, mengobati ambeien, mengatasi bisul, membantu meredakan batuk, dan mengobati rematik.

Sementara, jamu gendong dipasarkan dengan cara memasukkannya ke dalam botol-botol. Kemudian, botol-botol disusun di dalam bakul. Penjual jamu biasa menggendong bakul tersebut saat berjualan. Inilah alasan jamu ini dikenal sebagai jamu gendong.

Penjual jamu gendong juga menjajakan dagangannya dengan cara berkeliling setiap hari. Mereka kebanyakan adalah perempuan lantaran dulu tenaga laki-laki lebih diperlukan untuk bertani.

Konsep berjualan dengan menggendong barang dagangan ini menjadi sesuatu yang terbilang menarik. Penjual jamu gendong biasa menggendong bakul jamunya dengan kain panjang, baik kain batik maupun lurik, sebagai salah satu ciri khas perempuan Jawa ketika membawa sesuatu.

3 dari 4 halaman

Asal-usul Jamu Gendong

Disebutkan, tidak hanya penjual jamu gendong yang membawa dagangannya dengan cara digendong. Dulu, penjual aneka jajanan, seperti nasi pecel dan nasi liwet umumnya juga berjualan dengan menggendong dagangannya.

Para perempuan Jawa, khusus pada zaman dahulu atau di daerah pedesaan, pun membawa aneka barang dengan cara menggendongnya, seperti membawa kayu bakar, air di dalam jerigen, bahan-bahan pangan, dan hasil pertanian. Inilah yang menjadi asal-usul jamu gendong di Indonesia.

Ternyata ada makna dari membawa sesuatu dengan cara digendong ini. Menggendong identik dengan seorang ibu yang membuai bayinya dalam gendongan. Karena itu, para perempuan Jawa yang membawa barang dagangannya dengan cara digendong dimaknai mereka membawa barang dagangan seperti halnya membawa anaknya sendiri.

Barang dagangan merupakan sarana mencari rezeki sehingga harus dibawa dengan baik, ditawarkan dengan baik, dan disajikan dengan baik. Rezeki pun dicari dengan niat dan cara yang baik. Dengan demikian, usaha mencari rezeki dan apa yang didapat diharapkan memperoleh berkah dari Tuhan.

 
4 dari 4 halaman

Ritual Sebelum Meracik Jamu

Diyakini bahwa tradisi meracik dan meminum jamu telah ada sejak ratusan tahun silam pada masa kerajaan Hindu dan Buddha. Seiring zaman berganti, orang-orang keraton mulai mengenalkan jamu kepada masyarakat luas.

Pengenalan jamu keluar keraton diperkirakan sudah terjadi di periode akhir Kerajaan Majapahit. Kemudian, tradisi berlanjut pada masa kerajaan-kerajaan setelahnya dan terus berjalan hingga pada masa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Dulu, jamu hanya dibuat oleh orang-orang yang dianggap mempunyai kekuatan spiritual, seperti wiku atau dukun. Pada masa itu, praktik-praktik pengobatan banyak dilakukan oleh wiku. Para wiku ini umumnya mengobati menggunakan ramuan jamu dan doa-doa.

Para wiku sering kali mengirimkan jamu racikannya kepada orang-orang yang membutuhkan atau berdasarkan pesanan. Saat itu, jamu dikirimkan melalui para laki-laki yang menjadi utusan. Sementara, penjualan jamu dengan cara digendong diperkirakan telah dimulai pada masa Kerajaan Mataram Islam.

Seiring waktu, permintaan terhadap jamu kian meningkat sehingga pengirimannya ke berbagai tempat pun dilakukan teratur. Sampai akhirnya, penjualan jamu ke desa-desa terus berkembang. Pada perkembangan selanjutnya, banyak orang berjualan jamu secara berkeliling, baik laki-laki maupun perempuan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat