uefau17.com

Gus Baha Kisahkan Wali yang Tak Mau Masuk Surga, Alasannya Mengejutkan - Islami

, Cilacap - Ahli Tafsir Al-Qur’an asal Kota garam, Rembang, Jawa Tengah KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha mengisahkan dunia para wali.

Santri Mbah Moen ini menceritakan waliyullah yang tidak bersedia masuk surga dengan alasan-alasan tertentu yang sama sekali tidak terpikirkan dan terbesit di hati para orang awam.  

Alasan yang ia kemukakan berdasarkan penuturan tergolong langka dan tidak ditemukan pada manusia-manusia pada umumnya. Kisah unik yang mengandung hikmah yang mendalam ini berisi tentang kualitas ibadah sholat seseorang.

 

Simak Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tak Mau Masuk Surga Sebab Alasannya Begini

Mengawali kisahnya, Gus Baha mengatakan bahwa tujuan masuk surga bagi sebagian orang hanya mempertimbangkan fasilitasnya yang enak saja, sebab di surga nanti tidak lagi sholat dan puasa. Rupanya, selama ini ia mengaggap ibadah sebagai problem.

“Banyak luh orang yang agak kacau masuk surga, enak sudah di surga nanti di sana nggak usah sholat, nggak usah puasa, jadi sholat yang sekarang itu dianggap problem,” katanya.

Beliau lantas membandingkan dengan manusia yang telah memiliki derajat waliyullah yang telah merasakan nikmatnya ibadah.

Saking nikmatnya dalam beribadah, sampai-sampai beliau tidak bersedia masuk surga. Sebab ia telah sampai kepada puncak kenikmatan yang dirasakan saat sholat, sampai-sampai ia tidak bisa membayangkan ada kenikmatan yang di atas sholat.

“Bandingkan cerita di dunia wali, ada wali yang bertanya kepada Allah: Ya Allah, apakah di surga itu ada sholat?” tuturnya.

“Ditanya sama Allah: “Kenapa kamu tanya gitu?” “Kalau tidak ada sholat lebih baik saya tidak di surga,” kisah Gus Baha.

“Dia tidak bisa membayangkan ada kenikmatan di atas sholat,” imbuhnya.

3 dari 3 halaman

Kunci Agar Ibadah Terasa Nikmat

Menukil Republika, setidaknya ada lima kunci merasakan beribadah itu nikmat. Pertama, menomorsatukan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Selama hati lebih terpatri dengan cinta dunia, nikmatnya ibadah itu sulit dirasakan.

Nabi SAW bersabda: “Ada tiga sifat yang apabila ada dalam diri seseorang, ia akan merasakan manis atau nikmatnya iman, yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai selain keduanya. Ia mencintai seseorang tidaklah mencintainya, melainkan karena Allah. Ia membenci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya darinya sebagaimana ia benci apabila dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Muslim).

Kedua, beribadah dengan ikhlas semata-mata karena mendamba ridha Allah SWT. “Abu Umamah RA meriwayatkan bahwa ada seseorang datang menemui Nabi SAW, lalu bertanya: Tahukah engkau ada seseorang yang berperang untuk memperoleh pahala dan sebutan tertentu baginya? Rasulullah SAW lalu menegaskan: “Dia tidak mendapat apa-apa”. Orang itu mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali dan Rasulullah Muhammad SAW menegaskan hal yang sama: “Dia tidak mendapat apa-apa”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali dilakukan dengan ikhlas, semata-mata mencari ridha-Nya.” (HR an-Nasa’i). 

Ketiga, bersungguh-sungguh dan konsisten (mujahadah wa istiqamah) dalam beribadah, dengan meneladani tata cara ibadah Rasulullah SAW, dimulai dengan meluruskan dan memurnikan niat karena Allah (lillah), memenuhi syarat, rukun, dan kaifiyat-nya secara tertib dan khusyuk. Dengan konsistensi dan kekhusyukan, pelaksanaan ibadah bisa dirasakan nikmat dan lezat.

Keempat, menjadikan ibadah sebagai kesenangan hati, bukan beban yang memberatkan, sehingga ibadah dijalani dengan penuh antusiasme, optimisme, dan asketisme. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya di antara kesenangan dunia kalian yang aku cintai adalah wanita dan wewangian. Dan dijadikan kesenangan hatiku terletak di dalam shalat.” (HR Ahmad, at-Thabarani, al-Baihaqi, dan al-Hakim).

Kelima, menjauhkan diri dari maksiat dan perbuatan dosa, melalui habituasi akhlak mulia. Nikmatnya beribadah makin bertambah seiring dengan aktualisasi akhlak mulia dalam kehidupan nyata karena akhlak mulia merupakan buah dari ibadah bermakna: ibadah yang dirasakan sebagai kebutuhan dan kenikmatan.

Penulis: Khazim Mahrur/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat