uefau17.com

Populer Jadi Menu Buka Puasa Ramadhan, Halalkah Kraca alias Keong? - Islami

, Jakarta - Sejumlah sajian kuliner khas Ramadhan muncul di berbagai daerah. Salah satunya, masakan yang terbuat dari keong sawah, alias tutut, atau ada pula yang menyebutnya dengan kraca.

Menu dengan bahan dasar keong sawah ini lazim disajikan sebagai hidangan buka puasa. Olahan kraca dijual di pinggir jalan atau dijual keliling oleh penyedianya.

Mengutip laman NU, Bagi yang kebingungan menyikapi status kehalalan keong, jawabannya tuntas dalam Kitab ‘Aisyul Bahri. Kitab ini merupakan tulisan salah satu ulama Nusantara yang meneliti hewan-hewan yang hidup di sekitar air.

Beliau bernama Kiai Muhammad Anwar dari Batang Jawa Tengah, seorang ulama bermazhab Syafi’i dan pakar di bidang hewan air yang mungkin jarang didengar. Diperkirakan beliau hidup semasa dengan Syekh Nawawi Banten.

Dalam Kitab ‘Aisyul Bahri yang berbahasa Arab, keong (kraca, tutut-red) disebutkan bersama dengan beberapa hewan lain yang halal. Uniknya, meskipun berbahasa Arab, Kiai Anwar menyebutkan hewan-hewan khusus yang dibahas dalam kitab tersebut dengan bahasa setempat.

“Hewan air yang hidupnya seperti hewan yang tidak dapat bertahan lama di darat seperti kepiting, bulus, belut, dan keong, maka halal juga memakannya.” (Anwar, Aisyul Bahri, tanpa tahun: halaman 4).

Berdasar pandangan ini, maka tutut alias kraca, alias keong sawah, hukumnya halal.

 

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Keunikan Penyebutan dengan Istilah Lokal

Dalam kitab itu, istilah kepiting disebut sebagai al-kepitingu, bulus dengan al-bulusu, belut dengan al-welutu, dan keong dengan al-keyongu. Semua hewan tersebut adalah hewan air yang hidupnya terkadang keluar dari air ke daerah yang tidak berair.

Namun, bila berada di daerah yang tidak berair hewan tersebut hidupnya tidak seperti hewan yang mampu bertahan lama di darat. Parameter hidup seperti hewan yang mampu bertahan lama di darat dijelaskan dengan tinggal atau menetap dan mencari makan.

Artinya, hewan seperti keong bila berada di daerah yang tidak berair tidak bisa tinggal menetap dan tidak bisa mencari makan. Keong baru bisa tinggal menetap dan mencari makan di lingkungan yang berair. Mungkin saja keong keluar dari air untuk bertelur karena telur keong bila terkena air tidak akan bisa menetas. Telur keong membutuhkan tempat yang kering agar bisa menetas.

Setelah bertelur, keong akan kembali ke air untuk meneruskan kehidupannya. Keong membutuhkan mencari makan di lingkungan yang berair. Hal ini dibuktikan dengan pengalaman empiris bahwa meskipun telurnya menempel di lingkungan yang kering, tempat telur tersebut menempel tidak jauh dari permukaan air. Begitu telur keong menetas, anak keong akan segera jatuh ke air dan mencari makan di air.

Tanaman yang bisa dimakan oleh keong juga berada di lingkungan berair, bukan di tanah daratan yang kering. Keong dalam kitab tersebut ditulis dengan nama al-keyongu masuk ke dalam hewan yang halal karena tidak bisa bertahan hidup lama tanpa adanya air. Oleh karena itu, hukumnya halal.

Dalam publikasi ilmiah tentang Kitab ‘Aisyul Bahri, spesies air yang bisa hidup di darat tetapi tidak bisa bertahan lama di tempat tersebut (‘aisy hay la yadumu) meliputi kepiting, bulus, dan keong (Fadal, 2020, ‘Aisy al-Bahr: Karya Intelektual Ulama Pesisir Jawa Awal Abad XX M Seputar Hewan Laut, Jurnal Lektur Keagamaan, Vol.18, No.2: 303-332).

3 dari 3 halaman

Pendapatan MUI dan Pandangan LIPI

Pendapat Kiai Anwar tentang keong ternyata juga sejalan dengan pendapat para pakar terkini. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah menyatakan kehalalan keong ketika membedakannya dengan bekicot yang haram.

Sebagaimana yang diketahui saat ini, MUI beranggotakan para pakar termasuk ketika membahas status kehalalan hewan yang sering dikonsumsi masyarakat seperti keong. Secara khusus, bekicot difatwakan haram oleh MUI dalam fatwanya MUI Nomor 25 tahun 2012.

Bekicot termasuk hewan melata (hasyarat) yang meskipun bentuknya mirip keong, tetapi hidupnya di darat. Keong bukanlah bekicot, sehingga hukumnya pun berbeda. Bekicot dapat hidup lama (tinggal menetap dan mencari makan) di darat, sedangkan keong tidak bisa hidup lama tanpa air. Jadi, di daratan yang kering tanpa air, keong akan mati karena tidak bisa tinggal menetap dan tidak bisa mencari makan.

Kehalalan keong atau tutut (Filopaludina Javanica) pernah disampaikan kehalalannya oleh sekretaris fatwa MUI, KH. Asrorun Niam Sholeh. Alasan kehalalan keong karena keong atau tutut tersebut habitat asalnya di air.

Pendapat ini dikuatkan oleh peneliti biologi LIPI yang menyatakan bahwa keong tutut atau Filopaludina Javanica di Indonesia dijumpai menyebar luas di berbagai tipe habitat seperti sungai, rawa, danau, sawah, kolam baik yang berarus deras maupun tenang (Marwoto dan Nurinsiyah, 2009, Keanekaragaman Keong Air Tawar Marga Filopaludina di Indonesia dan Status Taksonominya, Prosiding Seminar Nasional Moluska 2 “Moluska: Peluang dan Konservasi” Bogor). Peneliti LIPI tersebut juga menyebutkan bahwa keong termasuk hewan dalam filum moluska (Marwoto dkk, 2014, Tinjauan Keanekaragaman Moluska Air Tawar di Beberapa Situ di DAS Ciliwung-Cisadane, Berita Biologi 13 (2): halaman 181-189).

Moluska disebut juga hewan lunak dan sebagian besar memiliki cangkang. Semua habitat keong tersebut berair sehingga keong tidak bisa bertahan hidup lama tanpa air. Dengan habitatnya yang berair tersebut, keong air tawar disebut sebagai hewan akuatik.

Dengan status hewan air sebagaimana yang dulu dikemukakan oleh Kiai Anwar dalam Kitab ‘Aisyul Bahri, keong tersebut halal dan tidak perlu ada keraguan bagi kaum muslimin yang mengonsumsinya. Demikian pula dengan kaum muslimin yang menikmati menu kraca untuk berbuka puasa, tidak perlu lagi meragukan kehalalannya. (Sumber: NU Online).

Tim Rembulan

 

 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat