uefau17.com

DJP Masih Susun Regulasi Pajak Karbon - Bisnis

, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus menyusun dengan cermat regulasi pajak karbon. Penyelesaian pajak karbon ini menyusul Bursa Karbon Indonesia yang sudah diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo Selasa kemarin.

“Dari sisi regulasi, (DJP dan Badan Kebijakan Fiskal) menyusun implementasi pajak karbon,” ungkap Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Ihsan Priyawibawa di sela-sela Media Gathering Kemenkeu di Puncak, Bogor, Jawa Barat, ditulis Rabu (27/9/2023).

Ihsan menambahkan, penyusunan regulasi pajak karbon ini tentunya harus diproses dengan memperhatikan berbagai aspek yang menyertainya, salah satunya ekonomi hijau.

“Bursa karbon kan sebetulnya bagaimana di situ ada sustainability, juga untuk pertumbuhan ekonomi juga mengingat green economy sudah menjadi perhatian dunia,” jelas Ihsan.

Namun, dia juga menyebut, pajak karbon bukan tujuan utama hadirnya bursa karbon.

“Apakah bisa bursa karbon tanpa pajak karbon? Bisa saja, meski secara regulasi kami sudah siapkan dan saat ini sudah dalam diskusi,” imbuhnya.

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Bursa Karbon Resmi Meluncur, Bagaimana Aturan Pajaknya?

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan pajak karbon merupakan kewenangan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Namun, terkait penerapannya masih dilakukan diskusi dengan Kemenkeu.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menuturkan, penetapan terkait pajak karbon perlu disesuaikan dengan sistem perpajakan Indonesia. Ini mengingat penetapan pajak karbon bukan untuk menghasilkan pendapatan pajak melainkan menjadi insentif dan disinsentif bagi objek pajak untuk memperoleh unit pengurangan emisi karbon.

"Kalau itu memang harus sinkron ya untuk keseluruhan sistem perpajakan kita. Bu Menkeu (Menteri Keuangan Sri Mulyani) lebih paham untuk pelaksanaan implementasi masing-masing karena peran dari pajak karbon bukan untuk menghasilkan revenue, agak beda dengan pajak lain,” ujar dia saat ditemui di BEI, Selasa (26/9/2023).

Meski bursa karbon telah resmi meluncur, hingga saat ini Pemerintah belum menetapkan soal pajak karbon tersebut. Mahendra pun menegaskan, yang diperlukan saat ini kepastian dan rencana penerapan bursa karbon ke depannya.

Dalam kesempatan berbeda, OJK mengatakan, pendirian Bursa Karbon Indonesia merupakan momentum bersejarah Indonesia dalam mendukung upaya Pemerintah mengejar target untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai ratifikasi Paris Agreement.

"Bursa karbon Indonesia akan menjadi salah satu bursa karbon besar dan terpenting di dunia karena volume maupun keragaman unit karbon yang diperdagangkan dan kontribusinya kepada pengurangan emisi karbon nasional maupun dunia. Hari ini kita memulai sejarah dan awal era baru itu," kata Mahendra.

Dia bilang, Indonesia memiliki target menurunkan emisi GRK, sebesar 31,89 persen (tanpa syarat dan tanpa bantuan internasional) atau sebesar 43,2 (dengan dukungan internasional) dari tingkat emisi normalnya (atau Business As Usual) pada 2030.

3 dari 3 halaman

Tujuan Perdagangan Karbon

Sesuai berlakunya UU No. 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), OJK memiliki kewenangan dalam mengatur dan mengawasi perdagangan karbon melalui Bursa Karbon di Indonesia.

Menurut ia, tujuan yang sangat penting dari perdagangan karbon di Indonesia, yaitu memberikan Nilai Ekonomi atas unit karbon yang dihasilkan ataupun atas setiap upaya pengurangan emisi karbon ini, guna tercapainya target NDC (Nationally Determined Contributions) dari pemerintah Indonesia dan optimalisasi potensi Indonesia sebagai negara produsen unit karbon. 

Dalam mempersiapkan perdagangan karbon di Bursa Karbon, OJK bersama Kementerian/Lembaga terkait, dan dengan dukungan lembaga Internasional.

Untuk mendorong suksesnya penyelenggaraan perdagangan perdana unit karbon di Bursa Karbon, berdasarkan data dari Kementerian ESDM dan PT PLN (Persero) terdapat 99 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara, yang berpotensi ikut perdagangan karbon tahun ini. Jumlah ini setara dengan 86 persen dari total PLTU Batu Bara yang beroperasi di Indonesia. 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat