uefau17.com

Rupiah Melemah, Bagaimana Dampak terhadap Peringkat Surat Utang? - Saham

, Jakarta -

PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menyebut kenaikan suku bunga dan melemahnya nilai tukar Rupiah dapat mempengaruhi peringkat surat utang suatu perusahaan. 

Kepala Divisi Pemeringkatan Non Jasa Keuangan PEFINDO, Niken Indriasih menuturkan risiko ini tidak hanya terjadi untuk sektor perusahaan tertentu, tetapi pada perusahaan yang memiliki utang dalam mata uang asing.

"Jika perusahaan memiliki utang dalam mata uang asing yang kontribusinya tertinggi atau besar, sementara arus kas atau revenue perusahaan dari Rupiah maka ada perubahan nilai mata uang,” kata Niken dalam konferensi pers Pefindo, Rabu (25/10/2023). 

Sedangkan untuk kenaikan suku bunga, emiten properti kemungkinan bisa terdampak. Namun Niken menambahkan, ini masih tergantung komposisi sebagian besar utang apakah dalam suku bunga fix atau floating. 

"Dalam suku bunga fix tidak terlalu terdampak kenaikan suku bunga, tapi jika utangnya dalam suku bunga floating akan terdampak, maka jika ingin menerbitkan surat utang maka bunganya akan tinggi,” lanjut Niken.

Adapun Niken menilai melemahnya Rupiah terhadap dolar AS tidak akan berpengaruh signifikan terhadap potensi penurunan peringkat surat utang bagi perusahaan yang mencatat pendapatan dalam satuan rupiah. 

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Investasi Obligasi Tenor Pendek, Masih Menarik?

Sebelumnya diberitakan, saat ini, sejumlah orang mulai memahami pentingnya memiliki portofolio investasi. Hal itu dilakukan sebagai salah satu langkah agar kondisi keuangannya tetap sehat. 

Meski demikian, para investor tetap saja perlu memperhatikan beberapa hal sebelum menentukan investasi yang akan dipilih. Misalnya, memilih instrumen investasi yang sesuai dengan profil risiko masing-masing. 

CEO PT Trimegah Asset Management Antony Dirga menjelaskan untuk investasi perlu disesuaikan dengan profil risiko. Misalnya, bagi investor dengan profil risiko konservatif disarankan untuk memilih obligasi yang memiliki tenor pendek. 

"Kalau mau berinvestasi obligasi terutama bagi investor yang konservatif ya sebaiknya memilih obligasi yang tenor pendek,” ujar dia saat ditemui di Jakarta, Selasa (3/10/2023).

Menurut ia, obligasi korporasi memiliki yield (imbal hasil) yang lebih tinggi daripada obligasi pemerintah. Namun, obligasi pemerintah ada juga yang memiliki imbal hasil tinggi maupun rendah.

"Saya lihat investor tinggal pilah pilih saja, kalau memang tertarik untuk yield yang lebih tinggi lebih baik memilih obligasi korporasi tapi lebih baik yang bertenor pendek. Kalau pemerintah pun saya rasa juga banyak mengeluarkan yang risk free jadi tentu saja dengan kebutuhan masing-masing saja,” kata dia. 

Dengan demikian, ia lebih memilih obligasi tenor pendek. Hal itu sejalan dengan strategi yang diterapkan oleh Trimegah Asset Management. Sebab, penerbitan obligasi korporasi cenderung memiliki tenor pendek dibandingkan dengan pemerintah. 

"Kalau pemerintah ada yang 10 tahun, 15 tahun, kalau obligasi korporasi memang kebanyakan 1,3,5 dan maksimal 7 tahun. Jadi, otomatis reksa dana obligasi kami yang mengelola, jadi kebanyakan tenornya yang pendek. Makanya saya bilang reksa dana obligasi cenderung reksa dana yang berbasis korporasi,” tandasnya. 

3 dari 4 halaman

Menyibak Prospek Pasar Obligasi di Indonesia

Sebelumnya diberitakan, PT Batavia Prosperindo Aset Manajemen menilai volatilitas di pasar obligasi ke depannya  masih tinggi. Ini mengingat, kebijakan suku bunga bank sentral AS dan Bank Indonesia tidak bisa turun dalam waktu yang cepat. 

“Kondisi globalnya inflasi tinggi, the Fed turunkan suku bunga enggak cepet amat, walaupun di Indonesia inflasi oke, suku bunga enggak bisa turun terlalu cepat juga. Sehingga pasar obligasi ke depannya volatilitasnya masih tinggi,” kata CEO Batavia Prosperindo Aset Manajemen Lilis Setiadi dalam konferensi pers, Rabu (4/10/2023). 

Meski demikian, ia menyebut, BI mampu dan akan berkomitmen untuk melakukan intervensi di pasar, mata uang, pasar obligasi, meski tidak terlalu agresif.

“Kita lihat volatilitas jangka pendek ini masih ada di obligasi, dari sisi supply risk, supply obligasi engga jor-jor an banyak, pemerintah enggak keluarkan terlalu banyak jadi enggak kebanjiran itu bisa menjaga yield karena volatilitas global yang pengaruhinya,” kata dia. 

 

4 dari 4 halaman

Masih Ada Peluang

Di sisi lain, Lilis juga mencermati masih ada peluang agar investor mendapatkan imbal hasil atau keuntungan dari investasi obligasi. Hal itu akan tercermin dari tren suku bunga yang ada. Jika suku bunga turun maka harga obligasi ini akan bagus. 

“Kami lihat ada ruang bagi investor untuk tetap mendapatkan return yang baik cuma mesti pilih tenor yag mana, obligasi itu mudahnya suku bunga turun harga obligasi naik. Ke depannya entah  di bulan kapan inflasi di AS turun pasti the Fed turunkan suku bunga, Bi juga, sehingga obligasi harganya akan semarak lagi kalau itu terjadi,” kata dia. 

Menurut ia, apabila tren suku bunga turun terjadi, maka obligasi tenor panjang ini bakal menjadi yang paling diuntungkan. Sedangkan, untuk obligasi jangka pendek akan bergerak fluktuatif alias naik turun.

Namun, bagi investor yang ingin melakukan trading obligasi, Lilis menyarankan untuk memilih obligasi tenor menengah 7-12 tahun. 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat