uefau17.com

RUU Kesehatan Banyak Masalah, Pakar Hukum: Tidak Selaras dengan Naskah Akademik - News

, Jakarta Pakar Hukum Dr. Oce Madril menyoroti RUU Kesehatan yang tengah digodok oleh Pemerintah dan DPR saat ini menggunakan metode omnibus banyak masalah. Seharusnya fokus menyelesaikan persoalan di sektor kesehatan sesuai dengan Naskah Akademik

“Ada banyak isu kesehatan yang muncul dalam Naskah Akademik, sehingga harapannya RUU Kesehatan tidak keluar dari pengaturan di bidang kesehatan,” ungkap Oce yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN).

Menurut Oce, Naskah Akademik merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi untuk menentukan materi yang akan diatur dalam Undang-Undang. 

“Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU 13/2022, bahwa tujuan, sasaran, jangkauan dan arah pengaturan suatu RUU harus selaras dengan Naskah Akademik,” terang Oce.

Persoalannya, kata Oce adalah muatan materi RUU Kesehatan tidak konsisten dengan Naskah Akademik.

"Dalam Naskah Akademik dijelaskan hasil kajian dan analisis mengenai kondisi dan masalah sektor kesehatan. Tidak ada pembahasan mengenai BPJS Ketenagakerjaan atau Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan,” bebernya.

Oce melanjutkan, kenapa tiba-tiba dalam RUU terdapat beberapa pasal yang mengatur BPJS Ketenagakerjaan. Kelembagaan BPJS Ketenagakerjaan turut serta diutak-atik. Tanpa penjelasan dalam Naskah Akademik, RUU ini tiba-tiba mengatur dan mengubah sistem pertanggungjawaban BPJS Ketenagakerjaan yang seharusnya langsung kepada Presiden, menjadi melalui Menteri Ketenagakerjaan.

“Perubahan sistem pertanggungjawaban tersebut tentunya berimplikasi pada kedudukan BPJS Ketenagakerjaan yang seharusnya langsung berada di bawah Presiden,”  kata Oce Madril yang juga Pengajar di Fakultas Hukum UGM.

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Muatan Naskah Akademik

Ketentuan dalam RUU Kesehatan sebenarnya tidak terkait dengan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek) dan BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini terbukti dari Naskah Akademik yang hanya memuat kajian evaluasi terhadap sektor kesehatan tanpa sedikitpun memuat penjelasan mengenai program Jamsostek dan BPJS Ketenagakerjaan. 

“Jika dilihat dari berbagai jenis undang-undang yang diubah oleh RUU ini, maka dapat disimpulkan bahwa RUU ini dikhususkan untuk mengatur berbagai hal dalam sektor kesehatan. Muatan materi dalam RUU Kesehatan juga menunjukkan bahwa sebagian besar materi (hampir seluruhnya) berhubungan dengan sektor kesehatan,” sebutnya.

Oce menyebut bahwa faktanya Naskah Akademik hanya fokus pada isu kesehatan, maka arah pengaturan dan ruang lingkup pengaturan RUU Kesehatan mestinya fokus pada regulasi di bidang kesehatan.

"Oleh karena itu, muatan materi sepanjang berkaitan dengan BPJS Ketenagakerjaan sudah selayaknya dikeluarkan dari RUU Kesehatan. Apabila RUU Kesehatan mengatur isu-isu di luar masalah kesehatan, maka hal ini bertentangan dengan teknik penyusunan Naskah Akademik dan RUU sebagaimana diperintahkan oleh UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” sambung Oce.

3 dari 3 halaman

Pasal Karet di Materi RUU Kesehatan

Lebih lanjut, Oce mengungkapkan masih banyak masalah dalam muatan materi RUU Kesehatan. Salah satu contohnya, ketentuan mengenai pemberhentian anggota Dewas dan Direksi BPJS dalam Pasal 34 UU BPJS. RUU Kesehatan menambah alasan baru sebagai penyebab dapat diberhentikannya anggota Dewas dan Direksi, yaitu “tidak cakap dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya”. 

Ketentuan tersebut, menurutnya multi-interpretatif (pasal karet). Tidak jelas ukuran dalam menilai cakap atau tidaknya anggota Dewas atau Direksi dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Ketentuan semacam ini sangat diskresional dan tidak menggambarkan prinsip security of tenure bagi anggota Dewas dan Direksi yang memiliki fixed-term of office selama 5 tahun menjabat. 

“Ada banyak pasal-pasal dalam RUU Kesehatan yang perlu didiskusikan lagi, disesuaikan dengan semangat konstitusi dan UU SJSN. Sebagai bentuk meaningful participation, maka ruang diskusi harus dibuka selebar-lebarnya oleh Pemerintah dan DPR,” tutup Oce.

 

(*)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat