uefau17.com

Pakar: Hukuman Mati Bukan Urusan Jaksa Agung - News

, Jakarta - Jaksa Agung ST Burhanuddin mewacanakan hukuman mati terhadap koruptor. Wacana hukuman mati itu disampaikan Burhanuddin saat briefing kepada Kajati, Wakajati, Kajari, dan Kacabjari dalam kunjungan kerja di Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, Kamis 28 Oktober 2021.

Terkait wacana itu, Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Universitas Pakuan Bogor, Yenti Garnasih menyatakan bahwa hukuman mati bukan kewenangan Jaksa Agung. Kejaksaan hanya bisa melakukan penuntutan, namun yang memutuskan adalah majelis hakim.

"Kalau pidana mati itu kan urusannya bukan di Jaksa Agung, urusannya di hakimnya. Jaksa hanya menuntut, kan, tapi apakah nanti bisa dilaksanakan atau tidak, atau dijatuhkan atau tidak itu tergantung hakim," ujar Yenti dalam keteranganya, Minggu (31/10/2021).

Menurut Yenti, pidana mati tak bisa sembarangan dikenakan kepada seseorang yang melakukan tindak pidana. Menurutnya, pidana mati memiliki sejumlah risiko yang harus diperhitungkan secara matang.

"Kita harus berhitung kalau seandainya uang para koruptor itu di luar negeri, nah itu ada perhitungannya, tuh. Artinya kemungkinan kita agak susah meminta bantuan kepada negara lain, tolong rampaskan uang-uang koruptor ini, kecuali negara itu juga menerapkan pidana mati," kata dia.

Dia mencontohkan, Indonesia menerapkan hukuman mati bagi pelaku korupsi, namun harta kekayaannya ada di negara yang merapkan hukuman mati. Menurut Yenti, penegak hukum Indonesia bisa meminta tolong kepada penegak hukum negara tersebut untuk merampas aset koruptor.

"Tapi kalau kita menerapkan pidana mati dan harta kekayaan yang disita ini belum selesai proses perampasannya dan kita minta tolong ke negara yang tidak menganut pidana mati, biasanya ditolak. Karena 'enggak bisa, kan negara saya dan negara Anda berbeda prinsip karena kami tidak lagi menganut pidana mati, namun negara Anda menganut pidana mati'," kata dia.

Menurut Yenti, kasus korupsi tidak hanya pada tindak pidananya saja, namun juga terkait erat dengan penyitaan aset hasil dari tindak pidana korupsinya seoptimal mungkin. Namun, kata dia, jaksa juga harus cermat dalam melakukan penyitaan atau perampasan, sehingga tidak ada pihak lain yang dirugikan.

"Hal itu memang benar-benar harus dilakukan secara transparan kepada masyarakat, yang sudah disita itu berapa, begitu. Harus dikaitkan juga dengan proses penyitaannya, karena kan kemarin ada pihak ketiga yang beritikad baik dimenangkan gugatannya," kata Yenti.

Menurut Yenti, sebaiknya proses penyitaan terhadap aset terduga koruptor harus disampaikan secara transparan kepada masyarakat. Penegak hukum sebelum merampas harus memastikan dahulu apakah benar aset tersebut milik terduga korupsi yang dibeli dari uang hasil rasuah.

"Jangan seperti BLBI yang penyitaan berapa hektare ini loh, tapi ternyata status tanahnya berbeda. Satgas BLBI dengan bangganya bilang ini, itu, iya tahu, tapi status tanahnya itu tanah apa? Kalau status tanahnya tanah garapan itu jelas dagelan! Menyita tanah tapi ternyata punya pemerintah sendiri. Kita harus mengedukasi masyarakat, mereka tidak tahu, terus masih dibohongi. Itu kan enggak boleh juga, enggak bagus lah. Jadi semuanya harus trasparan," kata dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Singgung Kasus Jaksa Pinangki

Yenti pun mempertanyakan ketegasan Jaksa Agung dalam kasus eks Jaksa Pinangki Sirna Marasari yang masih terdapat ketidakadilan.

"Terkait Pinangki, ya itulah setiap pertanyaan yang seharusnya disadari oleh Kejaksaan Agung dan para penegak hukum yang lain. Jika mereka mengambil langkah-langkah yang tidak adil, bahkan karena orang tersebut bagian dari korpsnya sendiri, bahkan malah ada pengurangan bukannya dihukum maksimal. Itu kan menunjukkan bahwa dia tidak bisa menegakkan hukum dengan objektif," kata dia.

Apalagi menurutnya, Kejaksaan Agung merupakan lembaga penegakan hukum yang seharusnya bisa menegakkan keadilan. "Bahkan pejabat-pejabat tertentu menurut KUHP kalau dia melakukan tindak pidana maka harus ada pemberatnya, ini malah seakan-akan meringankan," kata Yenti.

"Jadi itu seperti duri dalam daging, mau ngomong gini, 'Halah yang kemarin gimana? Nah, sekarang kok ngomong begini,' orang kan jadi mencibir 'Dulu gimana, emang iya gitu?' gitu kan. Atau semakin ketahuan bahwa 'aduh' sekarang galak ya, tapi terhadap korpsnya sendiri yang harusnya diperberat malah enggak gitu. Nah diejek nantinya kan?," ujarnya.

Selain pemidanaan bertujuan untuk penjeraan, Yenti mengatakan yang tak kalah penting adalah pencegahan tindak pidana korupsi. Menurutnya harus ada kerja sama semua pihak baik eksekutif, legislati, dan yudikatif. Dia menyarakan pihak terkait agar tak membuat sistem yang memudahkan seseorang untuk korupsi.

"Kita jangan hanya melihat orang korupsi di pidana mati, di penjarakan, dibuat jera, itu tidak bisa! Jadi kita sudah saatnya harus bicara juga tentang pencegahan tindak pidana koruspi secara sitematis, dan melihat sistem-sistem yang ada di eksekutif, yudikatif, dan legislatif," lanjutnya.

"Sebenarnya kalau jaksa menuntut setinggi-tingginya pidana mati, oke saja. Tapi kalau ngomong jaksa akan menghukum pidana mati itu, ya enggak bener. Enggak mungkin mereka menghukum kan? Jaksa hanya bisa menuntut setinggi-tingginya," kata Yenti.

Ia mengatakan bahwa seluruh pemangku kebijakan juga harus berkomitmen dalam melakukan penegakan hukuman mati bila nanti akhirnya disepakati, jangan sampai lembaga-lembaga terkait tak sejalan.

"Nanti hakimnya malah bertolak belakang," kata Yenti yang juga tim perumus RUU KUHP.

Yenti menyebut jika RUU KUHP disahkan, nantinya mekanisme hukuman mati akan berubah.

"Pidana mati itu merupakan pidana khusus, pidana mati itu tidak langsung dilakukan seperti sekarang ini. Tapi pidana mati itu baru akan dilaksanakan bila 'inkracht'nya telah 10 tahun. Jadi bila sekarang dijatuhkan pidana mati, itu ada waktu 10 tahun untuk menilai kembali. Setelah 10 tahun, baru akan diputuskan 'oke pidana mati atau akan berubah' gitu, jadi pidana mati yang tertunda atau pidana mati percobaan," lanjutnya.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pun ikut mengkritisinya. Menanggapi hal itu, Staf Divisi Advokasi KontraS Tioria Pretty mengatakan bahwa hukuman mati bukanlah cara efektif untuk membuat jera para koruptor, sebab tak ada bukti empirik terkait hal itu.

Sehingga menurutnya hukuman mati bukan menunjukkan ketegasan dalam penegakan hukum di Indonesia.

"Dari awal soal hukuman mati baik itu terhadap korupsi atau tindak pidana lainnya, sejauh ini tidak ada bukti empirik yang dapat membuktikan pemberlakuan pidana mati efektif dalam memberikan efek jera dan menurunkan tingkat kejahatan," ujar Pretty.

Kondisi itu didukung dengan masih adanya permasalahan besar dalam menciptakan sistem peradilan yang adil (fair trial) di Indonesia. Pretty mengatakan bahwa pihaknya kerap menemukan berbagai perlakuan tidak adil seringkali diterima oleh terpidana mati.

"Seperti kualitas pendamping hukum yang buruk, kurangnya akses penerjemah yang berkualitas, pengakuan-pengakuan yang terlontar karena adanya paksaan yang kemudian dijadikan bukti dalam proses persidangan, dan akses terbatas menuju banding, peninjauan kembali dan prosedur grasi. Jadi sekali lagi hukuman mati bukanlah alat untuk menunjukkan ketegasan penegakan hukum," kata dia.

3 dari 3 halaman

Infografis Mensos Juliari Batubara Terancam Hukuman Mati?

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat