uefau17.com

PBB Revisi Jumlah Korban Tewas Banjir Bandang Libya Jadi 3.958 Orang - Global

, Tripoli - PBB pada Minggu (17/9/2023) pagi, merevisi jumlah korban tewas banjir bandang Libya. Data PBB, merujuk pada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kini menyebutkan bahwa setidaknya 3.958 orang di seluruh Libya tewas, sementara lebih dari 9.000 orang masih hilang.

Dalam laporan awalnya pada Sabtu (16/9), Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) menyatakan bahwa sedikitnya 11.300 orang tewas akibat banjir bandang di Kota Derna. Angka tersebut diklaim mengutip laporan Bulan Sabit Merah Libya.

"Kami menggunakan angka-angka yang baru saja diverifikasi oleh WHO," ujar wakil juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Farhan Haq, seperti dilansir CNN, Senin (18/9).

Sementara itu, masyarakat Bulan Sabit Merah Libya pada Minggu mengatakan bahwa mereka tidak pernah merilis angka kematian yang begitu tinggi kepada PBB. Ketika ditanya bagaimana atau mengapa PBB salah menyebutkan jumlah korban tewas, Haq mengatakan, "Dalam banyak tragedi ... kami akhirnya merevisi angka. Jadi, itulah yang terjadi di sini."

"Prosedur standarnya adalah kami bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memastikan jumlahnya diperiksa ulang. Kapanpun kami melakukan revisi itu jelas karena angkanya di-cross check," tuturnya.

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

1.500 Bangunan Rusak

Sepekan setelah banjir bandang Libya yang dahsyatnya digambarkan bak tsunami menghancurkan Kota Derna, kehadiran bantuan internasional dilaporkan semakin meningkat. Upaya pencarian dan penyelamatan sendiri masih berlanjut.

Badan-badan PBB memperingatkan bahwa para penyintas kini sangat membutuhkan bantuan air bersih, makanan, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar di tengah meningkatnya risiko kolera, diare, dehidrasi, dan kekurangan gizi.

Banjir bandang Libya terjadi setelah negara itu dilanda Badai Daniel pada 10 Desember. Sebelumnya, badai yang sama juga memicu banjir mematikan di Yunani, Turki, dan Bulgaria.

Air yang naik dengan cepat menghancurkan dua bendungan di hulu di Derna, mengirimkan gelombang pasang yang menerjang pusat kota berpenduduk 100.000 jiwa pada tengah malam.

"Tim yang ditugaskan oleh pemerintah untuk menginventarisasi kerusakan menyatakan bahwa jumlah total bangunan di kota ini adalah sekitar 6.142 bangunan, di mana bangunan yang rusak sebanyak 1.500 bangunan," ungkap kepala Respons Cepat Tanggap Darurat pemerintah Libya yang berbasis di Tripoli Badr Al-Din Al-Toumi, seperti dilansir Al Jazeera.

"Dari 1.500 bangunan tersebut, 891 bangunan hancur total, 211 bangunan rusak sebagian, dan sekitar 398 bangunan terendam lumpur."

3 dari 3 halaman

PBB Serukan Aktor Politik Libya Bersatu

Tim tanggap darurat dan bantuan telah dikerahkan dari Prancis, Iran, Rusia, Arab Saudi, Tunisia, Turki, dan Uni Emirat Arab, serta lebih banyak lagi yang akan dikirim dari negara-negara lain. Cuplikan tayangan dari stasiun televisi Al Masar menunjukkan bahwa sebuah rumah sakit lapangan bantuan Prancis kini sedang dipersiapkan.

"Orang-orang datang dengan membawa bantuan dari berbagai penjuru dan ini memudahkan kami, membuat kami merasa tidak sendirian," kata warga Derna, Hassan Awad.

Awad menunjuk sebuah tiang berkarat di antara dua bangunan dan mengatakan bahwa berpegang teguh pada tiang itu adalah cara keluarganya selamat dari banjir bandang.

Dikutip dari situs web resmi PBB, organisasi itu mengajukan permohonan bantuan mendesak kepada para pendonor sebesar USD 71,4 juta. Di lain sisi, PBB menyerukan agar semua aktor politik melakukan upaya kolektif demi memastikan bantuan tersalurkan dengan baik.

Seruan semacam itu penting disuarakan mengingat Libya masih mengalami perpecahan politik, di mana terdapat dua pemerintahan berkuasa, yaitu yang diakui internasional beroperasi dari Tripoli dan satu lainnya di wilayah Timur.

Pakar PBB menyalahkan tingginya angka kematian akibat faktor iklim seperti wilayah Mediterania yang terik akibat musim panas yang luar biasa panasnya dan akibat perang Libya, yang telah menguras infrastruktur, sistem peringatan dini, dan tanggap darurat di negara tersebut.

Retakan pada bendungan pertama kali dilaporkan pada tahun 1998.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat