uefau17.com

3.487 Ekor Singa Laut Mati di Peru, Benarkah Akibat Wabah Flu Burung H5N1? - Global

, Lima - Ribuan singa laut ditemukan mati di Peru di tengah wabah flu burung, menurut Layanan Nasional Kawasan Lindung Peru  (SERNANP).

Flu burung juga dikenal sebagai H5N1, telah menyebar ke berbagai spesies di negara Amerika. Wabah ini pertama kali dilaporkan dari vrius antara burung pada akhir November 2022, di sepanjang pantai Peru.

Dilansir dari CNN, Selasa (7/3/23) SERNANP sekarang telah melaporkan setidaknya 63.000 burung mati karena virus tersebut, serta peningkatan jumlah kematian pada spesies lain.

Setidaknya 3.487 singa laut telah ditemukan mati karena virus tersebut, itu merupakan lebih dari 3% populasi singa laut Peru. Tidak hanya singa laut, tetapi tercatat juga lima kematian anjing laut berbulu terkait dengan flu burung.

Dalam keluarga anjing laut Otariidae, ada 2 subfamili, anjing laut berbulu dan singa laut. Kebanyakan dari mereka terlihat mirip, dan secara genetik mereka terkait erat.

Ciri-ciri yang membedakan mereka satu sama lain adalah bahwa anjing laut berbulu memiliki bulu yang jauh lebih tebal daripada singa laut. Singa laut memiliki hidung yang lebih panjang sementara anjing laut berbulu memiliki hidung yang lebih pendek dengan mata lebih dekat ke hidung.  

"Apa yang kami ingat dulunya dimulai dengan burung pelikan tahun lalu, sekarang flu burung memengaruhi mamalia laut ini," kata dokter hewan Peru Javier Jara kepada Reuters.

Otoritas Peru mendesak warga untuk menghindari kontak fisik dengan satwa liar, hidup atau mati.

 

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Penularan Flu Burung

Saat ini, flu burung juga telah menginfeksi sejumlah burung dan beberapa mamalia di seluruh Amerika Serikat. Terkadang mamalia yang memakan unggas terinfeksi.

Bahkan sejak akhir tahun 2022, para ilmuwan telah mendeteksi virus ini di lebih dari 100 spesies burung liar seperti bebek, burung camar, angsa, elang, dan burung hantu di AS, di mana kasus juga telah diidentifikasi di antara beruang, rubah, kucing hutan, rakun, beruang, dan lumba-lumba.

Terdapat juga beberapa kasus manusia. Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan, bulan lalu bahwa risiko terhadap manusia tetap rendah. Namun beliau menambahkan, "kami tidak dapat menjamin akan tetap seperti itu."

Burung yang terinfeksi menyebarkan virus flu burung melalui air liur, lendir, dan kotorannya. Infeksi manusia dengan virus flu burung dapat terjadi ketika virus tersebut masuk ke mata, hidung, mulut seseorang, atau terhirup. Ini dapat terjadi ketika virus ada di udara (dalam tetesan atau mungkin debu) dan seseorang menghirupnya, atau mungkin ketika seseorang menyentuh sesuatu yang mengandung virus kemudian menyentuh mulut, mata, atau hidungnya.

Kabar baiknya adalah obat flu dan vaksin yang bekerja melawan virus sudah ada, kata Michelle Wille, seorang ahli ekologi virus di University of Sydney yang mempelajari flu burung.

Dibandingkan dengan ketika virus corona di balik pandemi COVID-19 muncul, “kita sudah berada di depan permainan.”

3 dari 4 halaman

Masih Efektifkah Vaksin Influenza hingga Kini?

Belakangan ini tengah munculnya temuan kasus flu burung H5N1 pada manusia, Anda mungkin ikut mempertanyakan soal keampuhan dari vaksin influenza sebagai bentuk proteksi.

Lantas, masih efektifkah vaksin influenza untuk melindungi diri hingga kini, terutama saat temuan kasus flu burung H5N1?

Pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI), Dr dr Erlina Burhan, MSc, SpP(K) mengungkapkan bahwa sejauh ini vaksin khusus untuk mencegah flu burung H5N1 belum ada.

Sedangkan untuk vaksin influenza yang sudah ada lebih ditujukkan untuk virus flu burung atau H1N1. Terlebih lagi, menurut Erlina, industri vaksin biasanya belum akan bergerak jika temuan kasusnya masih minim.

"Sejauh yang saya tahu, vaksin influenza untuk H1N1 ya, influenza pada manusia. Tapi untuk H5N1 belum ya, tidak. Jadi masih perlu dikembangkan lagi, mesti ada penelitian lagi, uji klinis, dan lain-lain," ujar Erlina dalam webinar Kewaspadaan Penyakit Flu Burung H5N1 bersama Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDIP) ditulis Senin, (6/3/2023).

"Biasanya kalau kasusnya masih satu dua, industri (vaksin) belum bergerak. Tapi begitu banyak, baru rebutan untuk neliti H5N1 ini," tambahnya.

Erlina menambahkan, terkait desas-desus Favipiravir bisa dijadikan obat untuk flu burung H5N1 sendiri belum ada pembuktian lebih lanjut. Mengingat memang belum ada obat khusus yang diciptakan untuk mencegah flu burung H5N1.

"Dulu di Jepang (Favipiravir) pernah dicoba. Tapi sebetulnya Favipiravir biasanya dipakai untuk flu biasa, bukan untuk flu burung," kata Erlina.

4 dari 4 halaman

China Laporkan 1 Kasus Flu Burung H5N1

China timur mendeteksi kasusnya flu burung H5N1 pada seorang wanita berusia 53 tahun.

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan kasus terbaru itu datang dari wanita yang berada di provinsi Jiangsu, China Timur. Menurut laporan, pasien mengalami gejala sejak 31 Januari 2023 usai terpapar unggas.

Tak lama tepatnya pada bulan Februari, pasien dinyatakan positif dan kondisinya untuk saat ini belum diketahui pasti, mengutip laman BNO News, Jumat (3/3/2023).

"WHO mengambil risiko dari virus ini dengan serius dan mendesak kewaspadaan yang lebih tinggi dari semua negara," tambahnya.

Sebelum laporan China, Kamboja telah melaporkan adanya kematian pada seorang gadis berusia 11 tahun karena flu burung H5N1. Kasus itu bermula saat ayam dan bebek di rumahnya mati mendadak.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat