uefau17.com

Diplomat China di AS Akui Sulit Pantau Kasus dan Angka Kematian Akibat COVID-19 Tiongkok - Global

, Washington D.C - Diplomat China di Amerika Serikat mengakui kesulitan dalam memastikan jumlah pasti kasus dan jumlah kematian terkait COVID-19, di tengah wabah yang terjadi setelah pelonggaran pembatasan selama bertahun-tahun di Tiongkok.

"Setelah melakukan penyesuaian atas respons COVID-19, China berhenti melakukan tes bagi semua penduduk, sehingga sulit untuk mengetahui secara akurat berapa jumlah kasusnya," kata Liu Pengyu, juru bicara Kedutaan Besar China di Washington, D.C.

Ia mencatat bahwa China tidak sendirian dalam praktik ini, mengingat tren pandemi terjadi secara global, dikutip dari Newsweek.com, Jumat (6/1/2023).

"Ini adalah kasus yang sama di banyak negara di dunia," kata Liu.

"Pemerintah AS pun juga telah berhenti merilis jumlah kasus COVID-19 pada Oktober 2022."

Komisi Kesehatan Nasional China pertama kali mengumumkan pada November 2022 bahwa negara itu akan mulai melonggarkan anti-epidemiologis jangka panjang yang mulai berlaku di seluruh negeri tak lama setelah COVID-19 pertama kali terdeteksi di sana tiga tahun lalu.

Sejak itu, pelonggaran lebih lanjut dilakukan dan dikenal sebagai kebijakan "nol-COVID" ala Presiden Xi Jinping.

Namun, Liu mengkritik "kesalahpahaman dan misrepresentasi tentang situasi COVID-19 di China" yang muncul dari narasi media asing dan komentar pejabat asing, termasuk Amerika Serikat.

Liu kemudian membela China yang telah berbagi data kesehatan pada saat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan juga sudah menyerukan transparansi yang lebih besar dari Republik Rakyat Tiongkok.

 

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Klaim China Transparan

Dia berargumen bahwa "China selalu membagikan informasi dan datanya secara bertanggung jawab kepada komunitas internasional" dan mengatakan Beijing telah melakukan kontak rutin dengan WHO dalam beberapa hari terakhir.

"Karena COVID-19 diperlakukan sebagai penyakit menular Kelas-B, bukan Kelas-A di China, ada penyesuaian dalam pembaruan data COVID dan frekuensi publikasi mereka," kata Liu.

"Informasi tentang rawat inap, kasus parah, kasus kritis, dan kematian kumulatif secara teratur dirilis oleh CDC [Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit] China."

Liu juga berusaha menghilangkan anggapan bahwa China tidak siap menghadapi peningkatan tajam dalam kasus COVID-19 yang terjadi setelah pelonggaran pembatasan yang sudah berlangsung lama.

Dia mengatakan, pemerintah China "telah memantau dengan cermat pandemi baik di dalam maupun luar negeri".

3 dari 4 halaman

Lonjakan Kasus COVID-19 di China Bikin Dunia Khawatir

Sementara itu, Amerika Serikat, Jepang, dan sejumlah negara lainnya mengamanatkan tes COVID-19 bagi pelancong yang datang dari China.

Hal ini mencerminkan kekhawatiran global bahwa varian baru dapat muncul dalam wabah eksplosif, dikutip dari NST.com.my, Kamis (29/12/2022).

Belum ada laporan varian baru hingga saat ini. Tetapi mengingat rekam jejak China, kekhawatirannya adalah Tiongkok tidak membagikan data tentang tanda-tanda berkembangnya strain yang dapat memicu wabah baru di tempat lain.

Amerika Serikat mengumumkan persyaratan tes negatif pada Rabu (28/12) untuk penumpang dari China, berdasarkan lonjakan infeksi dan kurangnya informasi, termasuk pengurutan genom dari galur virus corona di negara itu.

Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menyatakan keprihatinan serupa tentang kurangnya informasi ketika dia mengumumkan persyaratan pengujian bagi penumpang dari China awal pekan ini.

Secara lebih luas, Direktur Jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa baru-baru ini WHO membutuhkan lebih banyak informasi tentang tingkat keparahan wabah di China -- terutama mengenai penerimaan rumah sakit dan ICU, di negara tersebut.

India, Korea Selatan, Taiwan, dan Italia juga telah mengumumkan berbagai persyaratan pengujian untuk penumpang dari China.

Otoritas kesehatan Jerman kini sedang memantau situasi tetapi belum mengambil langkah pencegahan serupa.

"Kami tidak memiliki indikasi bahwa varian yang lebih berbahaya telah berkembang dalam wabah ini di China," kata juru bicara Kementerian Kesehatan Sebastian Guelde.

Sementara itu, Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning mengatakan pekan lalu bahwa China selalu membagikan informasinya secara bertanggung jawab kepada WHO dan komunitas internasional.

"Kami siap bekerja sama dengan komunitas internasional dalam solidaritas untuk mengatasi tantangan COVID-19 secara lebih efektif, melindungi kehidupan dan kesehatan masyarakat, serta bersama-sama memulihkan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan membangun komunitas kesehatan global untuk semua," katanya.

4 dari 4 halaman

AS Ikut Jejak 4 Negara Wajibkan Tes COVID-19 Bagi Pelaku Perjalanan dari China

Lonjakan kasus COVID-19 di China membuat pejabat kesehatan federal Amerika Serikat mengambil langkah pencegahan penularan lebih lanjut, dengan mengumumkan bahwa hampir semua penumpang pesawat udara dari negara tersebut harus menunjukkan bukti hasil negatif tes COVID-19 jika hendak memasuki wilayah AS.

Aturan itu mulai berlaku 5 Januari 2023. Pengecualian hanya diberlakukan pada penumpang berusia di bawah dua tahun.

Langkah yang diambil AS itu menyusul kebijakan serupa yang telah diberlakukan oleh India, Italia, Jepang dan Taiwan.

"AS mengambil langkah proaktif guna melindungi kesehatan masyarakat Amerika dan waspada terhadap potensi munculnya varian COVID-19," kata pejabat kesehatan federal seperti dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (29/12/2022).

Pada kesempatan tersebut, pejabat kesehatan federal juga menyebutkan bahwa pemerintah China tidak memiliki dan transparan dalam menyajikan data terkait Virus Corona COVID-19.

"Ada gambaran terbatas tentang data urutan genomic, tentang varian yang terdapat di China dalam basis data global. Selain itu pengujian dan pelaporan kasus baru juga berkurang. Berdasarkan absennya data ini, semakin sulit bagi kami untuk mengidentifikasi varian baru yang menyebar ke AS," demikian kilah pejabat itu ketika berbicara pada wartawan pada Rabu 28 Desember.

Pejabat tersebut berbicara dengan syarat anonim.

Pembatasan tersebut akan berlaku untuk individu yang melakukan perjalanan dari wilayah China daratan, Hong Kong, dan Makau, termasuk mereka yang akan transit sebelum menuju ke tempat lain.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat