uefau17.com

Tergerus Zaman, Filosofi Tiang Rumah Adat Gorontalo yang Nyaris Terlupakan - Regional

, Gorontalo - Gorontalo memiliki rumah adat kerajaan atau sering disebut Bantayo Poboide di Kabupaten Gorontalo. Rumah ini dibangun oleh Kolonel A U MI Liputo selaku tauwa lo lahuwa dalam artian gelar kehormatan tertinggi kepada seorang pemimpin di Gorontalo.

Tauwa diartikan sebagai khalifah teladan atau pedoman. Rumah adat yang diresmikan pada 15 Januari 1985 itu, kini menjadi kebanggaan masyarakat Gorontalo.

Meski menjadi kebanggaan, banyak orang Gorontalo yang tidak mengetahui arti dan filosofis rumah adat tersebut. Bahkan, warga lokal mengetahui rumah adat itu, hanyalah sebagai sebuah ikon Gorontalo.

Tidak hanya itu, rumah tradisional suku Gorontalo ini, sebagian sudah mulai hancur. Hal itu diakibatkan pelapukan. Yang tersisa tinggal beberapa rumah yang masih dihuni keturunannya.

Secara umum, Bantayo Poboide atau rumah pertemuan memiliki beberapa komponen bangunan yang mempunyai makna dan kegunaan. Salah satunya tiang penyangga rumah bersejarah tersebut.

Tiang pada bangunan ini berfungsi sebagai fondasi atau penopang bangunan. Ada tiga jenis tiang yaitu 2 buah tiang utama atau dalam bahasa daerah Gorontalo bernama wolihi dan 6 buah tiang di serambi depan serta 32 buah tiang dasar dalam bahasa daerah Gorontalo adalah potu.

Dua tiang utama di bagian depan bangunan ditancap di atas tanah langsung ke rangka atap. Tiang ini melambangkan janji atau ikrar persatuan dan kesatuan yang kekal abadi antara dua kerajaan bersaudara Gorontalo dan Limboto.

Tiang  depan  sebanyak  6  buah  mempunyai makna 6 sifat utama atau ciri khas masyarakat Gorontalo. Lou duluwo limo lo pohala’a, yaitu sifat tenggang rasa, sifat hormat, sifat bakti kepada penguasa atau pemerintah, sifat sesuai kewajaran, sifat patuh kepada peraturan, sifat taat kepada keputusan hakim.

Sementara tiang dasar atau potu berfungsi sebagai pondasi bangunan yang berjumlah 32 buah. Ke-32 tiang ini melambangkan 32 penjuru mata  angin. Ini bermakna bahwa para penguasa negeri atau para pimpinan harus  mempunyai perhatian atas segala aspek kehidupan masyarakat tanpa pandang bulu.

Menurut M Rili, pemangku adat Gorontalo, zaman dulu pembangunan rumah tidak sembarangan. Semua melalui ritual khusus yang dilakukan oleh sesepuh.

"Termasuk pemilihan kayu yang bakal dibuat tiang rumah itu. Harus kayu pilihan yang diambil dari hutan," kata M Rili.

Setelah itu, saat melakukan pemasangan tiang, harus melalui ritual payango atau menentukan titik pusat rumah. Dari ritual itulah pemangku adat akan menentukan letak rumah yang pas secara adat.

"Nanti kayu itu kemudian dipatok, pematokan tidak sembarangan, karena payango menentukan nasib orang yang tinggal di rumah tersebut,"ujarnya.

Namun, kata M Rili, zaman modern saat ini, sudah banyak orang meninggalkan tradisi itu saat membangun rumah. Apalagi, rumah yang dibuat oleh komputerisasi.

"Zaman modern memang mengikis habis adat tersebut. Rumah saat ini hanya asal bangun, padahal kalau orang Gorontalo membangun rumah ada tradisi tersendiri," ia menandaskan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat