uefau17.com

Sertifikat Warisan Budaya Takbenda Jangan Hanya Jadi Pajangan - Regional

, Jambi - "Setelah mendapat pengakuan Warisan Budaya Takbenda (WBTB) mau diapakan?" Nukman Bertanya. "Jangan sampai sertifikat WBTB ini hanya jadi pajangan di ruang kerja kantor pemerintah".

Nukman selaku Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Provinsi Jambi ini berbicara berapi-api dalam sebuah seminar bertajuk Dokumentasi Karya Pengetahuan Maestro (DKPM) Senandung Jolo yang digelar di Aula Kantor Bahasa Jambi, Rabu (4/1/2023).

Dalam makalah yang berjudul "Memuliakan Sumber Pengetahuan" ini, Nukman memaparkan bahwa pemerintah daerah punya andil dalam besar dalam pelindungan kebudayaan.

Dalam regulasi Undang-undang No 05 tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan disebutkan bahwa pemerintah wajib untuk melindungi, mengembangkan, memanfaatkan, dan membina objek pemajuan kebudayaan di tengah kemajemukan masyarakat. 

"Ini amanat Undang-Undang," kata Nukman.

Sejak tahun 2013-2022 kata Nukman, terdapat 56 Karya Budaya dari Provinsi Jambi yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) Indonesia. Satu di antara 56 karya budaya tersebut adalah Senandung Jolo--sebuah karya budaya tradisi lisan yang berasal dari Tepian Sungai Kumpeh, Kelurahan Tanjung, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi.

Penetapan Senandung Jolo sebagai salah satu WBTB itu kata Nukman, tentu telah melalui proses panjang hingga pertanggungjawaban di hadapan Tim Ahli WBTB Indonesia di Kemdikbudristek. 

Muara dari penetapan ini, ada keinginan besar agar upaya tersebut tidak terhenti pada batas diterimanya sertifikat dan ironinya hanya menjadi pajangan di ruang kerja pemerintah, lalu pemerintah kita lupa untuk memikirkan aksi nyata dalam wujud program kerja-kerja pelindungan karya budaya luhur.

Lantas jika sudah diakui melalui penetapan WBTB ini mungkinkah semangat (pelindungan) ini bisa terwujud?

Jawaban atas pertanyaan tersebut tegas Nukmam, bisa kembalikan kepada sejauhmana regulasi yang dibuat oleh pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota dalam upaya pelindungan karya budaya, baik yang sudah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda maupun yang masih berwujud dokumen pencatatan. 

Selain itu, berbagai event kebudayaan yang sudah digelar sebaiknya juga ditelaah bersama, apakah hanya terhenti pada laporan pertanggungjawaban atau akan menjadi gerakan bersama untuk memuliakan sumber pengetahuan masa lalu, kata Nukman.

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Keseriusan Pemerintah Melestarikan Kebudayaan Dipertanyakan

Sekitar 20-an penutur muda asal Kelurahan Tanjung menampilkan Senandung Jolo. Mereka tampil mengisi sebelum acara seminar yang merupakan rangkaian kegiatan bertajuk Dokumentasi Karya Pengetahuan Maestro (DKPM) Senandung Jolo. 

Di Jambi, program Dana Indonesiana Kemendikbudristek yang diterima Mutia Lestari Zurhaz ini salah satunya mengangkat objek karya budaya Sastra Lisan Senandung Jolo. Narasumber dalam seminar tersebut adalah; Ketua ATL Jambi Nukman, Budayawan Jambi Jafar Rasuh, dan Akademisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Jabatin Bangun. 

Mutia mengatakan sebagai penyelenggara program, dia berharap Pemkab Muaro dan Pemprov Jambi bersama-sama melakukan pelindungan karya budaya ini.

Dia berharap pelindungan ini bukan akhir dari semangat bersama untuk saling berbagi, mengisi, dan membesarkan. Sebagai fasilitator pemerintah harus memberi penguatan regulasi terkait upaya regenerasi penutur muda ini.

Sebelumnya pagelaran seni tradisi dan pemutaran film Senandung Jolo bertajuk Dokumentasi Karya Pengetahuan Maestro (DKPM) Senandung Jolo secara seremoni dibuka Wakil Gubernur Jambi Abdullah Sani. Bersamaan dengan pembukaan seminar ini turut hadir pejabat utama dinas dan instansi yang membawahi ihwal kebudayaan seperti Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah V.

Hasil dari seminar Senandung Jolo ini akan menjadi tawaran kepada pemerintah daerah dalam upaya memperkuat aktivitas pelindungan terhadap karya budaya.

Tapi alih-alih ikut serta dalam seminar dan nimbrung rembuk bersama membicarakan bagaimana nasib perlindungan kebudayaan, malah para pejabat enyah dari ruangan. Hal ini mendapat kritikan dari seorang Akademisi Universitas Batanghari Jambi, Abdoel Gafar.

Gafar mengatakan, awalnya ia merasa optimistis perlindungan kebudayaan bisa dilakukan optimal karena banyak pejabat terkait yang datang di awal. Namun sayang, usai seremoni para pejabat pemerintah itu tak ikut serta dalam seminar yang menurut Gafar amat penting bagaimana nasib karya budaya ke depan.

"Secara regulasi dan undang-undang pemerintah bertanggung jawab. Awalnya, saya optimis karena hadir banyak pejabat yang punya wewenang, dan ini sangat menarik karena mereka tahu. Tapi sayangnya setelah acara seremoni selesai seluruh pejabat ikut meninggalkan sehingga tidak tahu apa esensi dari kegiatan ini," kata Gafar.

Sementara itu, menurut Budayawan Jambi Jafar Rasuh, perlindungan kebudayaan bukan hanya tanggung jawab maestro, melainkan ini menjadi tanggung jawab bersama, utamanya pemerintah daerah karena secara regulasi menyatakan demikian.

Jafar menyarankan agar seminar ini dibuat resume. Hasil seminar ini kemudian disampaikan kepada pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pelindungan karya budaya.

"Hasil resume atau tautan dari hasil seminar ini kita kasih kepada pejabat yang lari itu tadi," demikian Jafar.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat