uefau17.com

Menjemput Kisah Pamalayu - Regional

, Jambi - Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma dan beberapa orang pengiringnya dari Kerajaan Singosari berlayar menuju Selat Malaka, lalu mengarungi Batanghari--sungai terpanjang di Sumatra. Mereka bertolak dari Tanah Jawa ke pedalaman Sumatra dengan membawa arca Amoghapasa Lokeswara untuk dihadiahkan kepada Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa, Raja Malayu Dharmasraya.

Setibanya di Sumatra, arca itu kemudian didirikan di suatu tempat suci bernama Dharmasraya. Di prasasti lapik arca itu tersua kata "Bahagia!".

Peneliti Utama dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Bambang Budi Utomo menjelaskan inti pesan prasasti yang dipahatkan di lapik arca Amoghapasa.

"Semoga hadiah itu membuat gembira segenap rakyat di Bhumi Malayu, termasuk brahmaṇa, ksatrya, waisa, sudra, dan terutama pusat segenap para aryya, Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa," kata Bambang Budi Utomo ketika dihubungi dari Jambi, Senin (12/9/2022).

Isi prasasti di lapik arca yang bertarikh 1208 Saka atau 22 Agustus 1286 Masehi dan yang dipahat dengan Aksara Jawa Kuno itu juga menjabarkan nama-nama pengiringnya dari Singosari. Mereka adalah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Samgat Payanan Han Dipankaradasa, dan Rakryan Dmun Pu Wira.

Berdasarkan sejarah penemuannya, arca Amoghapasa dan lapiknya berbentuk persegiempat itu ditemukan terpisah. Bagian tubuh arca ditemukan pada tahun 1880-an di situs Rambahan hulu Sungai Batanghari, Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat.

Sementara bagian alas atau lapik ditemukan pada 1911 di kompleks percandianPadangroco, Jorong Sungai Langsat, Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.

Kini kedua bagian arca dan lapiknya itu telah disatukan kembali. Arca Amoghapasa dan lapiknya menjadi koleksi monumental di Museum Nasional Jakarta dengan nomor inventaris D.198.

Keberadaan arca dan isi prasasti Amoghapasa ini kelak terbukti menjadi bekal dalam mereformasi sejarah ekspedisi Pamalayu, yang selama ini dinarasikan sebagai ekspedisi penaklukan Jawa atas Sumatra.

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kisah Kebaikan Masa Lalu

Pelayaran utusan Kerajaan Sigosari ke Malayu Dharmasraya ini dikenal dengan ekspedisi Pamalayu. Lantas benarkah? Peristiwa bersejarah tentang ekspedisi yang selama ini dipersepsikan sebagai sebuah penaklukan Jawa atas Sumatra.

Tomi--begitu sapaan Bambang Budi Utomo mengatakan, tak ada bukti autentik yang menyebutkan bahwa ekspedisi Pamalayu adalah penaklukan. Pun sejauh ini, kata dia, belum ada penelitian yang mendukung bahwa ekspedisi Pamalayu adalah pendudukan Singosari atas Melayu.

Ekspedisi Pamalayu, menurut Bambang, adalah sebuah perjalanan muhibah yang dilakukan kerajaan Singhasari dibawah Raja Prabu Kertanegara. Perjalanan muhibah ini terjadi pada tahun 1208 Saka atau 1286 Masehi.

Ketika itu, Prabu Kertanegara memerintahkan ekspedisi ke Tanah Malayu Dharmasraya dengan membawa patung Amoghapasa. Dalam terminologi Buddha Amoghapasa adalah salah satu boddhisatwa perwujudan Lokeswara atau Awalokiteswara dan melambangkan sifat welas asih.

Sepaket dengan arca, kata Bambang, Prabu Kertanegara juga mengirim prasasti kepada Raja Dharmasraya Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa, bahwa patung Amoghapasa itu merupakan hadiah darinya.

"Dari data ini jelas (Pamalayu) ekspedisi persahabatan. Arca Amoghapasa itu sebagai simbol persahabatan agar rakyat Swarnabhumi bersukacita," kata Bambang.

Segendang sepenarian, Profesor Agus Aris Munandar menyatakan, tidak ada bukti bahwa Pamalayu adalah ekspedisi yang melibatkan kekuatan militer dan pasukan Sigosari. Pun tidak ada bukti otentik yang menujukan adanya peperangan dalam ekspedisi tersebut.

"Jadi memang itu hanya pengiriman Amoghapasa dalam rangka kerjasama karena waktu itu ada landasan sama yang berkembang di Singosari dan Malayupra," kata Agus Aris Munandar dalam seminar daring Pamalayu "Gagasan Persatuan Nusantara".

Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia ini mengatakan, di dalam isi prasasti yang dipahatkan di lapik Amoghapasa tidak disebutkan ekspedisi. Dia meyakini narasi ekspedisi Pamalayu sebagai penaklukan sengaja dibuat Kolonial Belanda untuk melancarkan politik adu domba dan pecah belah di tanah air.

“Siapa yang menyatakan ekspedisi penaklukan? Itu sejarah yang disusun Belanda sebenarnya,” kata Agus Aris Munandar.

Pun jejak lain bahwa Pamalayu bukan ekspedisi penaklukan. Buktinya adalah kisah Dara Petak dan Dara Jingga, keduanya merupakan putri raja Dharmasraya, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa.

Kedua putri Raja Dharmasraya itu diserahkan oleh sang Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa untuk berangkat bersama rombongan Pamalayu kembali ke Jawa. Namun ketika tiba di tanah Jawa, kerajaan Singosari yang dipimpin Kertanegara telah runtuh dan berdiri kerajaan baru bernama Majapahit.

Akhirnya, Dara Petak dipersunting dengan Raden Wijaya, Raja Majapahit pertama setelah Singosari hancur karena pemberontakan Jayakatwang. Dari hubungan ini, Raden Wijaya dan Dara Petak memiliki putra yang bernama Jayanegara. Jayanegara lantas naik singgasana menjadi raja kedua Majapahit menggantikan ayahnya.

Sementara Dara Jingga dipersunting oleh pimpinan rombongan Pamalayu, Rakryan Mahamantri Dyah Adwyabrahma. Mereka melahirkan putra bernama Adityawarman. Setelah Adityawarman tumbuh dewasa, ia kembali ke kampung leluhurnya ke Sumatra.

Adityawarman menjadi raja Dharmasraya dengan gelarnya Maharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa pada tahun 1347. Di kemudian hari ibu kota dari kerajaan Dharmasraya ini pindah ke daerah pedalaman Minangkabau di daerah Tanah Datar.

Setelah pindah ke pedalaman Minangkabau, Adityawarman banyak meninggalkan jejak prasasti. Bambang Budi Utomo mengatakan ditemukan sekitar 20 prasasti yang ditulis Adityawarman.

Ketika berguru di Majapahit, kata Bambang menjelaskan, Aditywarman bukan cuma mendalami bidang politik dan pemerintahan. Namun, Adityawarman juga mendalami dibidang pertanian. Jejak ilmu bidang pertanian itu dibuktikan Adtityawarman dengan mencetak area persawahan dan membuat saluran irigasi dengan memotong bukit.

"Sawah irigasi itu sulit daripada ladang. Ada yang mengatur air, perbintangan, cuaca, kapan tanam, dan panen. Pokoknya sulitlah irigasi itu. Tapi itu sudah dipunyai Adityawarman dan berkembang sampai saat ini," kata Bambang seraya menambahkan jejak peradaban Dharmasraya dan pedalaman Minangkabau tidak terlepas dari peran sentral Sungai Batanghari yang menjadi urat nadi kehidupan.

3 dari 4 halaman

Sungai Batanghari Dulu, Kini, dan Nanti

Di bawah jembatan Sungai Daerah, Pulau Punjung, Dharmasraya, puluhan tempek--sebutan perahu tradisional berkumpul sedari pagi, Rabu (24/8/2022) . Perahu-perahu milik warga setempat bersiap membawa ratusan orang untuk berlayar ke hilir Sungai Batanghari, tepatnya di Candi Pulau Sawah, Siguntur.

Arung Pamalayu menjadi rangkaian gelaran Festival Pamalayu-Kenduri Swarnabhumi yang dihelat pemerintah setempat. Ini menjadi penyilau peristiwa masa lampau bahwa para leluhur dulu mengarungi Batanghari dalam misi perdamaian seperti narasi Pamalayu.

Perahu hilir-mudik di aliran Batanghari mengingkatkan kita kembali akan peradaban sungai para leluhur.

Dari atas perahu terlihat jelas arus Batanghari yang berair coklat mengalir tenang ke arah timur. Batanghari--sungai terpanjang di Sumatra itu menjadi saksi bisu masa kejayaan pemerintahan Kerajaan Malayu Dharmasraya. Ratusan tapak-tapak tua, mulai candi, stupa, wihara, hingga tinggalan kolonial menjadi saksi bisu peradaban dari hulu sampai hilir.

Namun, kini di balik kisah agungnya itu, Batanghari yang bermata air dari Bukit Barisan itu, kini tidak lagi terjaga. Airnya keruh, dangkal, sedimentasi, tubir sungai ambrol.

Aktivitas keserakahan--industri ekstraktif, tambang emas ilegal marak ditemui di sepanjang tubir sungai. Pun kini aneka ragam jenis ikan makin sulit dijumpai di sungai ini.

Bambang Budi Utomo, seorang arkeolog senior, yang penelitian arkeologinya banyak berkecimpung di aliran Batanghari itu mengatakan, aliran Batanghari sepanjang 800 kilometer itu menjadi jalur pelayaran penting dari Selat Malaka-Pantai Timur Sumatra hingga masuk ke padalaman Sumatra.

Selain banyak tinggalan peradaban, di sepanjang aliran Batanghari juga menyimpan jejak kebudayaan yang tumbuh di tengah kampung-kampung. Jutaan orang menggantungkan air dari Batang Hari.

Tapi Bambang masygul ketika melihat kondisi Batanghari sekarang. Dari dua kali mengikuti ekspedisi Batanghari, yakni pada tahun 2008 dan 2022, Bambang bilang, kerusakan Batang Hari sudah mengkhawatirkan.

"Kerusakannya sudah parah banget, itu tambang emas yang pakai merkuri banyak sekali di sungai," kata Bambang.

Bambang hakulyakin, kondisi sungai Batanghari jika tidak segera diatasi nanti bisa membawa bencana seperti tragedi minamata akibat pencemaran merkuri.

Begitupula dengan tradisi masyarakat “turun ke aek”. Dahulu ketika bayi baru lahir langsung dilakukan ritual turun ke air Batanghari. Tapi tradisi ini, kata Bambang, sekarang perlahan sirna dan tak pernah dilakukan.

"Mereka (masyarakat) beranggapan bahwa Batanghari sudah tercemar, ya kalau udah tercemar itu bayi diturunkan ke air lama-lama kena penyakit. Enggak perlu teknologi maju untuk mendeteksi kerusakan, tapi kita lihat tradisinya yang hilang," ujar Bambang.

Beberapa ahli di Jambi telah meneliti bahwa Batanghari tercemar logam berat merkuri akibat aktivitas tambang emas. Pencemaran merkuri di sungai Batanghari tak habisa dianggap remeh.

Pencemaran merkuri itu juga mengancam habitat ikan air tawar. Aktivitas penambangan mengakibatkan Sungai Batanghari, dan anak-anak sungainya tercemar.

Sungai Batanghari menjadi habitat beragam ikan air tawar. Hasil penelitian seorang peneliti ikan air tawar dari Universitas Jambi, Tedjo Sukmono, menunjukan sebanyak 320 spesies ikan hidup di Sungai Batanghari.

Penelitian Tedjo mengungkapkan sedikitnya ada belasan jenis ikan terancam punah. Ikan-ikan itu di antaranya seperti Arwana Silver, Putak, dan Belida, yang sekarang sudah sangat jarang ditemui.

"Batanghari menjadi spot biodiversity ikan air tawar yang ada di indonesia dengan total memiliki 320 spesies ikan air tawar," kata Tedjo.

Namun, potensi ini bisa berkurang lebih cepat kalau kondisi-kondisi di Batanghari tidak segera diatasi. Ada beberapa faktor yang memengaruhi, salah satunya kerusakan habitat akibat pencemaran sungai.

"Kita semua sudah tahu aktivitas PETI (penambangan emas tanpa izin) masih berlangsung hingga saat ini dan sulit dikendalikan. Selain menyumbang logam berat di sungai, aktivitas ini juga menyumbang sampah plastik," ujar Tedjo.

4 dari 4 halaman

Keselarasan Alam Raya

Tenarnya Dharmasraya sebagai daerah yang makmur sudah disebutkan dalam catatan kuno, baik itu dalam prasasti, kitab Negarakertagama, dan kitab melayu tertua bernama Niti Sastra Samukcaya atau Undang-undang Tanjung Tanah Kerinci.

Meski nama "Dharmasray" tersua dalam berbagai catatan kuno, dan peristiwa penting Pamalayu, tetapi saat itu tak diketahui di mana lokasi negeri yang makmur itu.

Dan pada akhirnya dengan berpatokan catatan kuno dan peristiwa Pamalayu itulah, pada 7 Januari 2004 nama Dharmasraya ditetapkan menjadi nama kabupaten baru hasil pemekaran Sawahlunto Sijunjung di Provinsi Sumatra Barat.

"Mambalia’an siriah ka gagangnyo, pinang ka tampuaknyo. Kok lai bungo ka jadi putiak, putiak ka jadi buah. Buah untuak ka basamo," kata Bupati Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan memangku gelar Pusako Maharadiraja dikutip dari situs Diskominfo Dharmasraya.

Dharmasraya dulunya merupakan daerah atau titik yang strategis. Di kabupaten termuda di Sumatra Barat ini tapak-tapak kerajaan masih berjejak. Reruntuhan candi berserakan di kebun-kebun sangat luas. Jejak kuno masa klasik hingga berkembangnya masa Islam masih banyak ditemukan.

Kini untuk mengembalikan nilai peradaban leluhur, Pemkab Dharmasraya untuk kedua kalinya menggelar Festival Pamalayu. Pada 2022, Festival Pamalayu-Kenduri Swarnabhumi digelar pada 18-23 Agustus dengan tema besar "Keselarasan Alam Raya”.

Festival Pamalayu punya tujuan mulia. Dia hadir untuk meluruskan kembali narasi sejarah. Sebab selama ini narasi yang berkembang adalah narasi penaklukan Jawa atas Sumatra oleh Kerajaan Singosari terhadap Kerajaan Dharmasraya.

Ekspedisi Pamalayu berabad silam merupakan ekspedisi penuh kedamaian sesuai prasasti dan bukti sejarah lainnya. Bupati Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan mengatakan, Festival Pamalayu-Kenduri Swarnabhumi juga bertujuan untuk kembali mengenang dan mempelajari perjuangan para leluhur dalam menciptakan budaya.

Hingga akhirnya narasi sejarah yang lebih faktual mampu menghilangkan sentimen negatif. Nilai-nilai persaudaraan agaknya terus digemakan di sudut-sudut ruang.

"Kita belajar kepada peradabannya. Kita belajar asal usul cerita sebenarnya. Anak-anak kita harus tahu dan kita sampaikan bersama," kata Sutan Riska.

Kini di tengah ancaman kriris iklim, krisis pangan, krisis air bersih, Festival Pamalayu-Kenduri Swarnabhumi membawa pesan untuk mengingatkan kembali akan alam. Festival ini juga mempunyai misi untuk menyelamatkan Sungai Batanghari dari kerusakan.

"Komitmen kita menjaga Sungai Batanghari dari hulu sampai ke hilirnya," ujar Bupati dalam pembukaan ekspedisi Batanghari--rangkaian Festival Pamalayu itu.

Pamalayu menjadi kisah yang punya sederet nilai-nilai kebaikan. Ini menjadi bukti bahwa pada masa lampau bangsa dan nenek moyang kita mempunyai peradaban tinggi yang selaras dengan alam.

Manusia menjaga alam dengan baik dan alam akan melindungi manusia. Dan semoga kebaikan dan keselarasan itu akan selalu datang dari segala penjuru.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat