uefau17.com

Mengapa Stigma Negatif Melekat pada Isu Kesehatan Mental di Indonesia? - Lifestyle

, Jakarta - Ahli Madya Epidemiologi Kesehatan Direktorat Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, dr. Edduwar Idul Riyadi, menyampaikan bahwa telah lama sejak isu kesehatan mental diselimuti stigma negatif. Sayang, Indonesia bukan pengecualian dalam fenomena ini.

"Stigma itu lebih pada bagaimana kesehatan mental dianggap sebagai sesuatu yang negatif," kata dr. Edduwar dalam jumpa pers "Peluncuran Survei Kesejahteraan Mental dan Pusat Kesehatan Digital TikTok," Rabu, 12 Oktober 2022.

dr. Edduwar menambahkan, stigma negatif pada isu kesehatan mental muncul akibat pernyataan maupun istilah yang dikemukakan masyarakat secara awam. Pernyataan itu meliputi orang dengan masalah kesehatan jiwa atau gangguan jiwa berhubungan dengan hal di luar nalar, supranatural, hal-hal klenik, dan tidak masuk akal.

"Ada istilah yang disebut kalau dalam bahasa Inggris itu crazy, mad, dan dalam bahasa Indonesia kadang-kadang disebut sebagai suatu kegilaan, atau suatu di luar pikiran akal manusia yang disebut suatu kegilaan. Istilah ini sering dialamatkan pada penderita gangguan jiwa," tambahnya.

Istilah negatif yang ditempelkan pada penderita gangguan kesehatan mental kemudian disebut sebagai stigma. Hal tersebut, dikatakan dr. Edduwar jadi suatu hal yang memalukan hingga tabu.

"Bahkan, orang yang mengalami gangguan jiwa itu terdiskriminasi karena istilah negatif tersebut. Orang menghindari, menjauhi, sehingga orang itu jadi tersingkir," ungkapnya.

dr. Edduwar menambahkan, "Itu yang menyebabkan berbicara gangguan jiwa sering dianggap memalukan, khususnya bagi keluarga atau orang-orang dalam budaya timur. Itu awalnya."

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Melek Kesehatan Mental

Lebih lanjut dr. Edduwar berkata, "Sebenarnya kondisi itu diciptakan oleh kita sendiri. Oleh karena itu, kita sendiri yang harus menghilangkannya. Masyarakat dan generasi sekarang sudah harus menghilangkan stigma tersebut."

Salah satu caranya adalah mengganti istilah-istilah negatif dengan yang lebih positif. "Memberi nuansa yang menyemangati, bukan mendiskriminasi, sehingga itu tidak lagi menjadi sesuatu yang tabu," lanjutnya.

dr. Edduwar melihat anak-anak muda saat ini lebih antusias dan semangat dalam membahas kesehatan mental. "Tidak lagi menganggapnya sebagai hal yang tabu. Kalau kita mewacanakan lebih bagus, dengan semangat positif, tentu perasaan tabu, malu, terstigma, akan sendirinya hilang," jelasnya.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar satu dari lima penduduk. Dengan kata lain, ada sekitar 20 persen populasi di Indonesia memiliki potensi masalah gangguan jiwa.

Psikolog dan co-founder Tiga Generasi, Saskhya Aulia Prima, menjelaskan bahwa kesehatan mental adalah topik yang luas dan ini belum sepenuhnya dipahami masyarakat. Minimnya kesadaran mengenai kesehatan mental yang memunculkan stigma-stigma tertentu.

"Ini membuat orang yang mengalami tantangan dalam kesehatan mentalnya menjadi tertutup atau bersikap seolah baik-baik saja," jelas Saskhya.

3 dari 4 halaman

Jangan Diagnosis Mandiri

Bila hal tersebut terus terjadi, dikatakan Saskhya, akibatnya penanganan terhadap masalah kesehatan mental menjadi terhambat. Di sisi lain, itu juga bisa memengaruhi aspek hidup lain, seperti produktivitas karier dan rumah tangga.

"Sekarang malah tantangannya, selain mengurangi stigma, tapi juga mulai belajar untuk tidak melabeli atau mendiagnosis diri sendiri. Silakan serahkan ke ahlinya," tambahnya.

Menurut Kemenkes, diagnosis mandiri adalah ketika seseorang mendiagnosis diri sendiri terkena suatu penyakit berdasarkan pengetahuan yang dimiliki atau setelah membaca informasi di internet yang berkaitan dengan keluhan tersebut. Padahal, informasi yang tersedia di internet sering kali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara medis.

Bahaya dari diagnosis mandiri:

- Under diagnosis, yakni mengabaikan penyakit yang sebenarnya berat, sehingga berakibat fatal.

- Over diagnosis, yakni menjadi takut dan panik karena merasa sudah terkena penyakit yang berat.

- Misdiagnosis, yakni diagnosis salah yang berdampak pada penanganan yang salah dan mencari pertolongan ke tempat yang tidak tepat.

- Salah terapi, yakni berusaha sendiri mencari terapi yang tidak sesuai kebutuhan.

4 dari 4 halaman

Mulai Nyaman Bicara tentang Kesehatan Mental

Merespons isu kesehatan mental masih menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan, TikTok bersama YouGov menjalankan survei kesejahteraan mental bertema "Global Consumer Attitudes on Mental Well-being." "Survei kita lakukan pada 16 ribu orang dewasa di 13 pasar di seluruh dunia yang salah satunya Indonesia dan dilakukan pada September 2022," kata Public Policy and Government Relations TikTok Indonesia, Faris Mufid.

Ada enam temuan dalam survei kesejahteraan mental di Indonesia. "Pertama, 77 persen responden di Indonesia mulai merasa nyaman berbicara tentang kesehatan mental. Breakdown-nya adalah 57 persen bercerita ke keluarga, 52 persen bercerita ke tenaga profesional, dan 40 persen bercerita ke teman dekat," jelas Faris.

Temuan kedua: dua dari empat responden masih khawatir akan potensi dampak negatif dari berbicara mengenai kondisi mereka. Poin ketiga, ada 53 persen responden yang merasa nyaman berbicara dengan anggota keluarga yang terbuka dengan isu kesehatan mental.

"Keempat, 43 persen responden merasa akan terbantu jika bisa bicara dengan teman yang pernah membahas tentang kesehatan mental. Poin kelima, satu dari empat atau sekitar 28 persen responden di Indonesia terbantu dengan adanya akses gratis ke sumber daya tentang kesehatan mental di platform media sosial," ungkap Faris.

Terakhir, ada 26 persen dari responden yang lebih terinspirasi dan nyaman untuk bicara jika ada orang di media sosial yang juga berbagi pengalaman serupa.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat