uefau17.com

Biografi Gus Miek, Tokoh Ulama yang Terkenal dengan Dakwahnya yang Unik - Hot

, Jakarta Gus Miek yang memiliki nama asli KH. Hamim Tohari Djazuli, merupakan salah satu tokoh Ulama yang cukup terkenal karena memiliki metode dakwah yang unik. Gus Miek tidak hanya melakukan dakwah di masjid dan pesantren saja, namun juga di tempat-tempat yang tidak biasa untuk dakwah, seperti diskotik, tempat karaoke, tempat hiburan dan lain sebagainya.

Lahir di lingkungan keluarga yang agamis, ayah Gus Miek KH. Ahmad Djazuli Usman merupakan pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah di Ploso, Kediri. Meski lahir di lingkungan pesantren, Gus Miek diketahui lebih sering menghabiskan hidupnya untuk mengamalkan ilmu dan berdakwah di luar area pesantren, terutama di tempat yang tidak biasa.

Gus Miek dikenal sebagai tokoh ulama yang dapat merangkul siapa saja. Gus Miek juga dikenal dengan sebutan Kyai Kelana, di mana beliau selalu berpindah-pindah tempat saat berdakwah. Menjadi salah satu tokoh ulama Indonesia yang dikenal hingga kini, Gus Miek juga terkenal sebagai wali yang memiliki sejumlah karomah atau kelebihan.

Lebih lengkapnya, berikut ini perjalanan hidup Gus Miek atau KH. Hamim Tohari Djazuli yang telah rangkum dari berbagai sumber pada Rabu (8/2/2023).

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

Gus Miek Atau KH. Hamim Tohari Djazuli

Gus Miek merupakan ulama yang cukup terkenal dengan metode dakwahnya yang unik. Dimana Gus Miek tidak hanya dakwahnya di masjid-masjid ataupun pesantren tetapi di tempat-tempat yang dikenal sebagai tempat maksiat seperti karaoke, diskotek, dan lain sebagainya. Gus Miek dikenal dapat merangkul siapapun dan berani memasuki tempat-tempat maksiat, serta bergaul dengan orang-orang di dalamnya. 

Gus Miek juga memiliki sebutan kiai kelana karena kebiasaannya berdakwah di banyak tempat. Metode dakwah Gus Miek ini membuat dirinya jadi jarang bertemu keluarga. Ini dilakukan untuk bisa mengulurkan tangannya untuk membantu umat yang ingin belajar agama Islam. Hal inilah yang membuat Gus Miek dicintai oleh siapapun dan dari kalangan manapun, serta tetap dihormati sampai akhir hayatnya.

Gus Miek tidak hanya dihormati karena menjadi sosok yang terbuka, namun juga karena dikenal dengan kisah karomahnya yang luar biasa dan menginspirasi. Gus Miek juga dihormati karena nasihat-nasihatnya, di mana beliau selalu mengingatkan jamaahnya untuk selalu mengingat dan berserah diri kepada Allah SWT.

3 dari 6 halaman

Masa Kecil Gus Miek

Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940 dengan nama Hamim Tohari Djazuli, Gus Miek merupakan putra KH. Jazuli Utsman, yaitu seorang ulama sufi dan ahli tarekat pendiri Pon-Pes Al Falah Mojo, Kediri dengan Nyai Rodhiyah. Gus Miek merupakan putra ketiga dari enam bersaudara. Sejak kecil Gus Miek telah dikenal dengan suaranya yang merdu dan fasih saat membaca Al Quran.

Gus Miek juga merupakan seorang hafidz atau penghafal Al-Quran. Gus Miek percaya bahwa Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan, walaupun membentuk sema’an alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin.

Pendidikan awal Gus Miek ditempuh dengan masuk di Sekolah Rakyat (SR), namun tidak sampai selesai karena sering membolos. Dalam pendidikan belajar membaca al-Qur'an, Gus Miek dibimbing langsung oleh ibunya, kemudian ia diserahkan kepada Ustadz Hamzah. Sedangkan dalam pendidikan belajar kitab, Gus Miek beserta para saudaranya diajar langsung oleh ayahnya.

Saat usianya menginjak umum 9 tahun, Gus Miek telah mengenal ulama-ulama besar. Beberapa ulama tersebut yang sering dikunjungi Gus Miek adalah K.H. Mubasyir Mundzir (PP. Ma'unah Sari) , Kediri; K.H. Ali Mas'ud (Gus Ud) Pagerwojo, Sidoarjo; dan K.H. Hamid, Pasuruan. Ketika berkunjung ke rumah Gus Ud di Sidoarjo, untuk pertama kalinya Gus Miek bertemu dengan K.H. Ahmad Shiddiq yang pada saat itu menjadi sekertaris pribadi K.H. Wahid Hasyim.

4 dari 6 halaman

Perjalanan Menuntut Ilmu Gus Miek

Saat usia Gus Miek menginjak umur 13 tahun, Gus Miek melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, setelah KH. Mahrus Ali datang menjemputnya di Ploso untuk berkeinginannya belajar di Pondok Pesantren asuhan KH. Mahrus Ali tersebut. Namun pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo hanya bertahan selama 16 hari dan kemudian Gus Miek kembali pulang ke Ploso.

Kepulangan Gus Miek yang mendadak ke Pondok Pesantren Ploso membuat orang tuanya khawatir karena dia tidak mau untuk melanjutkan belajarnya di Pesantren Lirboyo. Namun Gus Miek mampu menunjukkan bahwa selama belajarnya di Pesantren Lirboyo beliau belajar dengan sungguh-sungguh, beliau membuktikannya dengan menjadi pengganti untuk semua jadwal pengajian yang biasa diampu oleh ayahnya di Pondok Pesantren Ploso.

Gus Miek kemudian membuktikannya dengan mengajarkan berbagai kitab untuk para santri, yakni, kitab Tahrir (kitab fiqih tingkat dasar), Fathul Mu'in (kitab fiqh tingkat menengah), Jam'ul Jawami' (kitab ushul fiqh), Fatkhul Qarib (kitab fiqh tingkat menengah), Shahih Bukhari (kitab hadis), Shahih Muslim (kitab hadis), Tafsir Jalalain (kitab tafsir al-Qur'an), Iqna (kitab fiqh penjabaran dari kitab Fatkhul Qarib), Shaban (kitab tata bahasa Arab) dan Ihya' Ulumuddin (kitab tasawuf). 

Setelah menunjukkan kemampuannya, beberapa bulan kemudian Gus Miek memutuskan untuk belajar lagi di Pesantren Lirboyo. Di pesantren tersebut dia cukup rajin dalam mengikuti pengajian. Namun dia mempunyai kebiasaan yang sulit dihilangkan sejak di Ploso, yaitu ketika santri lain sedang sibuk mengaji, beliau hanya tidur dan menaruh kitabnya di atas meja.

Namun ketika gurunya mengajukan pertanyaan, Gus Miek selalu mampu menjawabnya. Pada umur 14 tahun, beliau pergi dan melanjutkan belajarnya ke sebuah Pondok Pesantren asuhan KH. Dalhar di Watucongol, Magelang, Jawa Tengah.

5 dari 6 halaman

Karomah Gus Miek

1. Semut Hitam

Di Desa Ploso ada seorang biasa yang dipanggil Pak Adnan, yang biasanya membuat makanan yang dititipkan di kantin Pondok Ploso. Pak Adnan memiliki keponakan yang sampai umur Sembilan tahun belum bisa jalan. Ikhtiar ke dokter, tabib, kyai semua sudah dilakukan. Suatu ketika setelah selesai jamaah di masjid Pondok Ploso, Pak Adnan langsung cepat-cepat mendekat dan menceritakan perihal keponakannya.

Gus Miek diam sebentar lalu menjawab bahwa dia akan membantu doa untuk keponakannya, tapi dengan syarat agar Pak Adnan tidak  akan menceritakan hal ini ke siapa-siapa. Kalau sampai diceritakan ke orang lain, keponakannya akan tetap sembuh, namun pak Adnan lah yang akan mati. Kecuali jika hal ini diceritakan setelah Gus Miek meninggal.

Lalu Pak Adnan menyetujuinya. Setelah itu Gus Miek meminta Pak Adnan untuk pulang dan mencari semut yang warnanya hitam, lalu harus disuapkan kepada keponakannya.  Dengan mantap Pak Adnan pulang dan mencari semut hitam, lalu disuapkan ke ponakannya yang sembilan tahun di kasur saja. Lalu Pak Adnan keluar, kembali 1 jam kemudian.

Tengoklah si keponakan tidak ada di kasurnya, dicari-cari ternyata ada di sumur sedang menimba air. Pak Adnan langsung menangis syukur atas kesembuhan si keponakan. Seperti yang diperintahkan Gus Miek, Pak Adnan tidak berani menceritakannya pada siapapun, Sampai Gus Miek wafat tahun 93, baru dia cerita ke seseorang.

2. Harimau Penjaga Gus Miek

Saat Gus Miek baru mulai bisa merangkak, saat itu ibunya membawa ke kebun untuk mengumpulkan kayu bakar dan panen kelapa, bayi itu ditinggalkan sendirian di sisi kebun, tiba-tiba dari semak belukar muncul seekor harimau.

Spontan sang ibu berlari menjauh dan lupa bahwa bayinya tertinggal. Begitu sadar, sang ibu kemudian berlari mencari anaknya. Tetapi, sesuatu yang luar biasa terjadi. Ibunya melihat harimau itu duduk terpaku di depan sang bayi sambil menjilati kuku-kukunya seolah menjaga sang bayi.

6 dari 6 halaman

Akhir Perjalanan Gus Miek

Gus Miek juga dikenal karena mendirikan Sema’an Al Quran Dzikrul Ghofilin. Gus Miek menyusun kembali wirid-wirid secara tersendiri yang didapatkan dari para gurunya. Pada awalnya Gus Miek mendirikan Jama`ah Mujahadah Lailiyah tahun 1962. Sampai tahun 1971 jamaah yang dirintis Gus Miek ini sudah cukup luas. 

Kemudian di tahun 1971, para jamaah Gus Miek dan masyarakat NU menghadapi dilema pemilu. Saat itu semua pegawai negeri diminta memilih Golkar oleh penguasa. Gus Miek sendiri tidak mencegah bila para pengikutnya yang PNS untuk memilih Golkar, karena situasi sosial saat itu di bawah rezim Soeharto.

Metamorfosis dari komunitas yang dibangun Gus Miek, semakin menampakkan bahwa ia mengembangkan tradisi wirid di luar kelompok tarekat yang sudah mapan di kalangan NU. Jama`ah Mujahadah Lailiyah yang dibangunnya berkembang menjadi dzikrul ghofilin. Pada tahun 1971-1973 susunan wirid-wirid dzikrul ghafilin diusahakan untuk dicetak, terutama setelah jangkauan dakwah Gus Miek telah menjangkau ke Kabupaten Jember.

Bersama-sama KH. Achmad Shidiq yang awalnya sangat menentang, tetapi akhirnya menjadi sahabatnya, naskah wirid dzikrul ghofilin berhasil dicetak. Naskah-naskah yang tercetak dibagikan kepada jaringan jamaah Gus Miek:

- Jember di bawah payung KH. Achmad Shidiq,

- Tulungagung di bawah payung KH. Anis Ibrahim,

- Klaten di bawah payung KH. Rahmat Zuber,

- Yogyakarta di bawah payung KH. Daldiri Lempuyangan,

- Jawa Tengah di bawah payung KH. Abdul Hamid Kajoran Magelang.

Di samping mengorganisir dzikrul ghofilin, Gus Miek pada tahun 1986 juga meng-organisir sema’an Al-Qur’an. Beberapa bulan kemudian sema’an ini dinamakan Jantiko. Tahun 1987 sema’an Al-Qur’an Jantiko mulai dilakukan di Jember. Saat itu KH. Achmad Shidiq sudah menjadi Rais Aam Syuriah PBNU saat Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984.

Perjuangan Gus Miek dalam dzikrul ghofilin, sema'an Al-Qur’an, dan tradisi sufinya ke tempat-tempat diskotik, tempat perjudian, dan lain-lain, sangatlah tidak mudah. Di tengah-tengah jam'iyah NU yang telah membekukan tarekat mu’tabaroh, tradisi sufi Gus Miek mendapatkan perlawanan. Dzikrul ghofilin dianggap berada di luar kelaziman, tidak mu’tabaroh. Penentangan datang dari orang yang sangat terkenal, sekaligus pernah menjadi gurunya di Lirboyo, yaitu KH Mahrus Ali.

Hanya saja, semua itu bisa dilewati Gus Miek dengan sabar. Yang paling menggembirakan karena KH Achmad Shiddiq sebagai orang yang sangat dihormati di NU, yang pada awalnya menentang tradisi sufinya, kemudian bersama-sama mengembangkan dzikrul ghofilin di kabupaten Jember dan sekitarnya.

Akhir Perjalanan Gus Miek

Gus Miek meninggal pada pada tanggal 5 juni 1993. Gus Miek mengembuskan nafasnya yang terakhir di rumah sakit Budi Mulya Surabaya. Gus Miek kemudian dimakamkan di Pemakaman Auliya' Tambak Kediri. Di pemakaman ini pula dimakamkan KH. Anis Ibrahim dari Tulungagung dan juga KH. Achmad Shiddiq.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat