uefau17.com

Ini Isi Asumsi Makro dan Postur APBN Pertama Prabowo-Gibran, Kemiskinan Ekstrem Dibabat Habis - Bisnis

, Jakarta Komisi XI DPR RI menyetujui asumsi dasar ekonomi makro dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Ini jadi anggaran pertama pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka atau Prabowo-Gibran.

Persetujuan itu dilakukan dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan pemerintah. Sejumlah pejabat yang hadir dalam pembahasan asumsi dasar ekonomi makro ini diantaranya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa.

Lalu, ada Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggat Widyasanti, serta Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.

Tanda sepakatnya pemerintah dan DPR ditunjukkan dengan diketuknya palu oleh Ketua Komisi XI DPR RI, Kahar Muzakir.

"Disepakati? Oke, kalau setuju, saya ketok," ujar Kahar dalam Rapat Kerja tersebut, Kamis (6/6/2024).

Menkeu Sri Mulyani turut menanggapi hasil persetujuan itu. Menurutnya, atas kesepakatan pemerintah dan legislatif, diharapkan bisa menjadi awalnyang baik bagi acuan penyusunan APBN 2025 nanti.

"Terima kasih atas masukan-masukan baik dan semoga ini menjadi awal yang baik dan kredibel bagi APBN 2025," kata dia.

Diketahui, dalam rapat kerja dengan agenda pengambilan keputusan asumsi dasar ekonomi makro untuk RAPBN 2025 ini, disampaikan hasil-hasil rapat panitia kerja (panja) yang sudah dilaksanakan sebelumnya.

Rincian Asumsi Dasar Ekonomi Makro

Adapun, asumsi dasar ekonomi makro yang disepakati meliputi pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, hingga suku bunga SBN tenor 10 tahun. Berikut rinciannya:

Asumsi Dasar Ekonomi Makro RAPBN 2025

  • Pertumbuhan ekonomi: 5,1-5,5 persen year-on-year
  • Inflasi: 1,5-3,5 persen year-on-year
  • Nilai Tukar Rupiah: Rp 15.300 - Rp 15.900 per dolar AS
  • Tingkat Suku Bunga SBN 10 Tahun: 6,9-7,2 persen
  • Target Pembangunan RAPBN 2025
  • Tingkat Pengangguran Terbuka: 4,5-5 persen
  • Tingkat Kemiskinan: 7-8 persen
  • Kemiskinan Ekstrem: 0 persen
  • Gini Rasio (Indeks): 0,379-0,382
  • Indeks Modal Manusia (Indeks): 0,56
  • Indikator Pembangunan
  • Nilai Tukar Petani (Indeks): 115-120Nilai Tukar Nelayan (Indeks): 105-108

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tuai Penolakan, Prabowo Janji Cari Solusi untuk Iuran Tapera

Presiden Terpilih RI periode 2024-2029, Prabowo Subianto mengaku akan mempelajari soal program iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang banyak menuai penolakan di masyarakat. Dia berjanji akan mencari solusi terbaik terkait polemik iuran Tapera yang memotong gaji karyawan.

"Kita akan pelajari dan kita cari solusi yang terbaik," kata Prabowo di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (6/6/2024).

Kendati begitu, Prabowo tak menjawab saat ditanya apakah kebijakan iuran Tapera akan tetap dilanjutkan di era pemerintahannya.

Sebelumnya, Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tidak tepat diterapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini.

"Kondisi saat ini tidaklah tepat program Tapera dijalankan oleh pemerintah dengan memotong upah buruh dan peserta Tapera. Karena membebani buruh dan rakyat," kata Presiden Partai Buruh yang juga Persiden KSPI Said Iqbal dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (30/5/2024).

Padahal, kata Said pemerintah harusnya bisa memberikan jaminan sosial kepada buruh dan rakyat untuk mendapatkan rumah yang layak melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Menurut Said, selain membebankan buruh dan rakyat, ada beberapa alasan mengapa program Tapera belum tepat dijalankan saat ini.

Alasan pertama, Partai Buruh menyoroti belum adanya kejelasan terkait dengan program Tapera. Terutama, tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program Tapera.

Menurut Partai Buruh, jika program ini dipaksakan, bisa merugikan buruh dan peserta Tapera.

"Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3 persen (dibayar pengusaha 0,5 persen dan dibayar buruh 2,5 persen) tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK," jelas Said.

3 dari 4 halaman

Tetap Mustahil Dapat Rumah

Said menyampaikan, saat ini upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp 3,5 juta per bulan. Bila dipotong 3 persen per bulan, maka iurannya adalah sekitar 105.000 per bulan atau Rp. 1.260.000 per tahun.

Dia bilang karena Tapera merupakan Tabungan sosial, dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul baru sebesar Rp12,6 juta-Rp25,2 juta.

"Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun ke depan ada harga rumah yang seharga 12,6 juta atau 25,2 juta dalam 20 tahun ke depan?," ujarnya.

Said mengungkapkan, sekali pun uang tersebut ditambah dengan keuntungan usaha dari Tabungan sosial Tapera, uang yang terkumpul juga tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah.

"Jadi dengan iuran 3 persen yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera untuk memiliki rumah. Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah," terang dia.

Alasan kedua, Said menyebut dalam lima tahun terakhir ini, upah riil buruh (daya beli buruh) turun 30 persen.

Hal ini, kata dia akibat upah buruh yang tidak naik hampir 3 tahun berturut-turut. Dia berujar, bila upah buruh dipotong lagi 3 persen untuk Tapera, beban hidup buruh akan semakin berat.

4 dari 4 halaman

Pemerintah Hanya Sebagai Pengumpul

Alasan ketiga, Said mengutip UUD 1945 bahwa dijelaskan tanggung jawab menyiapkan dan menyediakan rumah yang murah untuk rakyat, sebagaimana program jaminan kesehatan dan ketersediaan pangan yang murah.

Sayangnya, ujar Said dalam program Tapera, pemerintah tidak membayar iuran sama sekali. Pemerintah, kata Said hanya sebagai pengumpul dari iuran rakyat dan buruh.

"Hal ini tidak adil karena ketersediaan rumah adalah tanggung jawab negara dan menjadi hak rakyat. Bukan malah buruh disuruh bayar 2,5 persen dan pengusaha membayar 0,5 persen," kata Said.

Alasan keempat, Partai Buruh juga memandang program Tapera terkesan dipaksakan untuk mengumpulkan dana masyarakat khususnya dana dari buruh, PNS, TNI/Polri, dan masyarakat umum.

Oleh sebab itu, Said mewanti-wanti pemerintah jangan sampai Tapera menjadi lahan korupsi baru bagi oknum pejabat, sebagaimana yang terjadi di ASABRI dan TASPEN.

"Dengan demikian, Tapera kurang tepat dijalankan sebelum ada pengawasan yang sangat melekat untuk tidak terjadinya korupsi dalam dana program Tapera," tutur dia.

 

 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat