uefau17.com

Kebijakan Moneter Indonesia Dikritik IMF, Bos BI: Kita Tak Peduli! - Bisnis

, Jakarta Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo menegaskan Indonesia memiliki cara tersendiri untuk mengedalikan inflasi dengan mengatur kebijakan moneter, tidak hanya menaikan suku bunga, tetapi juga kebijakan nilai tukar rupiah, dan kebijakan pasar keuangan. Bahkan ia pun mengakui bahwa pihaknya kerap kali mengeluarkan kebijakan diluar jalur yang ada.

Perry menyatakan, bahwa International Monetary Fund (IMF) mengkritis cara kerja kebijakan moneter Indonesia. Namun ia pun tetap dalam pendiriannya dengan menjalankan kebijakan moneter.

"Kita tidak peduli dengan pernyataan IMF," ujar Perry dalam acara ASEAN Fest, Jakarta, Selasa (22/8/2023).

 "Apa yang kita lakukan, kami tahu anda lebih pintar, tapi kami lebih berpengalaman. kamu mungkin berpikir lebih pintar, tapi kami lebih berpengalaman, tapi kita juga menggunakan kebijakan moneter makroprudensial dan fiskal," lanjut dia.

Nilai Tukar Rupiah

Perry menjelaskan, Indonesia tidak hanya berfokus pada kerangka kerja pengendalian inflasi, namun juga melengkapinya dengan kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah.

"Dalam beberapa aspek kita perlu capital outflow, tapi Indonesia meminimalisir hal tersebut," tuturnya.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Departemen Internasional Bank Indonesia (BI) Rudy Brando Hutabarat mengatakan pertumbuhan ekonomi negara kawasan ASEAN cukup tinggi dibandingkan negara kawasan lainnya. Stabilitas moneternya juga cukup baik. "Dalam kebijakan moneter bukan hanya suku bunga yang digunakan, tetapi berbagai kebijakan seperti makropudensial, capital cost manajemen dan intervensi," jelas Rudy kepada media, Jakarta, Selasa (22/8).

 

Reporter: Siti Ayu Rachma

Sumber: Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Mantap, Penurunan Inflasi Indonesia Salah Satu Tercepat di Dunia

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo menyatakan penurunan inflasi Indonesia menjadi salah satu yang tercepat di dunia. Perry menuturkan penurunan inflasi hingga bulan Juli, sudah turun hingga angka 3,08 persen dan akan diperkirakan terus menurun.

"Inflasi (Indonesia) turun dengan cepat, salah satu yang tercepat di dunia," ujar Perry dalam acara Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN ke II, Jakarta, Selasa (22/8).

Gubernur BI itu juga menerangkan, bahwa defisit transaksi berjalan sangat rendah, dan nilai tukar rupiah dinyatakan menunjukkan kinerja yang lebih baik, walaupun baru-baru ini sempat mengalami depresiasi, serta pinjaman perbankan yang diperkirakan akan tumbuh 9 persen hingga 11 persen.

"Nilai tukar rupiah sampai saat ini adalah apresiasi meskipun baru-baru ini terdepresiasi. Dan yang tak kalah pentingnya, pinjaman tumbuh 9 persen hingga 11 persen tahun ini (2023)," jelas Perry.

Kebijakan Penurunan InflasiDi sisi lain, Perry menerangkan beberapa negara di dunia memiliki kebijakan masing-masing untuk menurunkan inflasi. Salah satunya di Amerika Serikat (AS), yang mana AS menaikan suku bunga mereka untuk melawan inflasi.

"Di AS berjuang hanya menggunakan satu suku bunga untuk melawan inflasi. Butuh waktu sangat lama dan sekarang resesi. Eropa, inflasi tinggi sangat tinggi," tuturnya.

Sedangkan Indonesia sendiri, bukan hanya melakukan kenaikan suku bunga, namun pemerintah juga untuk memperkuat koordinasi kebijakan untuk menjaga makroekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional serta memuat koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

"Kita harus menjaga stabilitas harga, stabilitas keuangan, tetapi kita juga harus mendukung pertumbuhan ekonomi. Kita harus mampu menahan guncangan global. Mengapa kebijakan moneter terbuka saja? Tidak hanya menggunakan suku bunga tetapi juga kebijakan nilai tukar," tambahnya.

 

Reporter: Siti Ayu Rachma

Sumber: Merdeka.com

 

3 dari 3 halaman

Inflasi Menggila, Pengeluaran Rumah Tangga di AS Naik Rp 10 Juta

Inflasi Amerika Serikat menimbulkan dampak yang cukup signifikan pada anggaran rumah tangga di negara itu.

Mengutip CNN Business, Senin (14/8/2023) Moody's Analytics mengungkapkan bahwa rata-rata rumah tangga di Amerika membelanjakan USD 709 atau Rp. 10,8 lebih banyak pada bulan Juli dibandingkan dua tahun lalu untuk membeli barang dan jasa yang sama.

Angka itu menggarisbawahi dampak kumulatif inflasi yang tinggi terhadap keuangan konsumen, bahkan ketika pertumbuhan harga telah menurun drastis dalam beberapa bulan terakhir.

"Inflasi tinggi selama 2+ tahun terakhir telah menyebabkan banyak kerusakan ekonomi," tulis Mark Zandi, kepala ekonom di Moody's Analytics, dalam sebuah postingan di X, platform yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter.

Zandi mengungkapkan, sebagian besar peningkatan pengeluaran didorong oleh biaya perumahan, yang telah melonjak.

Dia menambahkan bahwa keluarga di AS juga membelanjakan lebih banyak di toko bahan makanan; membeli, merawat dan mengasuransikan kendaraan dan layanan rekreasi seperti kabel.

Tentu saja, gaji juga meningkat selama dua tahun terakhir, meski tidak sebesar biaya hidup. Meskipun harga melonjak, pendapatan riil, yang disesuaikan dengan inflasi, tertahan di level akhir 2019.

"Penghasilan nyata tetap di bawah apa yang seharusnya jika bukan karena pandemi dan perang Rusia Ukraina, yang membebani jiwa kolektif," ungkap Zandi dalam sebuah pesan email.

Kabar baiknya adalah, upah di AS akhirnya mulai melampaui inflasi dan pertumbuhan harga konsumen telah menurun secara signifikan, sehingga banyak investor yakin bahwa Federal Reserve akan segera menghentikan kenaikan suku bunga.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat