uefau17.com

Perubahan Iklim Makin Nyata, Anomali Suhu Rata-Rata Juli 2023 Tertinggi ke-4 Sejak 1981 - News

, Jakarta Perubahan iklim kian nyata. Hal ini terlihat, salah satunya, pada data anomali suhu udara di Indonesia. Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkap, rerata suhu udara Indonesia pada Juli 2023 mencapai 26,7 derajat Celcius.

Angka 26,7 derajat Celcius tersebut didapat berdasarkan analisis dari 118 stasiun pengamatan BMKG.

Suhu ini lebih tinggi 0,5 derajat Celcius dari suhu udara normal sepanjang 1991 hingga 2020.

"Normal suhu udara klimatologis untuk Juli 2023 periode 1991-2020 di Indonesia adalah sebesar 26.2 °C (dalam kisaran normal 20.08 °C - 28.63 °C). Berdasarkan nilai-nilai tersebut, anomali suhu udara rata-rata pada Juli 2023 menunjukkan anomali positif dengan nilai sebesar 0.5 °C," tulis BMKG dalam laman resminya seperti dikutip , Senin (14/8/2023).

Kenaikan ini menjadikan anaomali suhu udara Indonesia pada Juli 2023, merupakan yang tertinggi ke-4 sepanjang periode pengamatan sejak 1981.

"Anaomali suhu udara Indonesia pada bulan Juli 2023 ini merupakan nilai anomali tertinggi ke-4 sepanjang periode pengamatan sejak 1981," tegas BMKG.

BMKG merinci, anomali suhu udara tertinggi tercatat di Stasiun Meteorologi Emalamo-Sanana dan anomali suhu minimum berada di Sumatera Utara-Medan.

"Secara umum di wilayah Indonesia, anomali suhu udara rata-rata per-stasiun pada bulan Juli 2023 menunjukkan nilai anomali positif atau lebih tinggi dari rata-rata klimatologisnya. Anomali maksimum tercatat di Stasiun Meteorologi Emalamo - Sanana (1,2 derajat celcius), sedangkan anomali minimum tercatat di Stasiun Klimatologi Sumatera Utara - Medan (-1,9 derajat celcius)," info BMKG.

Sementara, pada Juni 2023, secara umum terjadi penurunan suhu udara rata-rata di Indonesia. Meski, peningkatan suhu tertinggi tercatat di Stasiun Meteorologi Sam Ratulangi, Manado (0,4 derajat celcius). Sedangkan penurunan suhu terbesar tercatat di Stasiun Meteorologi Yogyakarta - Kab. Kulon Progo (-1,5 derajat celcius).

BMKG menyebut, tiap tahunnya, memang ada tren kenaikan suhu di Indonesia, sebagaimana pengolahan data suhu di Tanah Air. Tren kenaikannya bervariasi sekitar 0,03 derajat celcius setiap tahunnya.

“Ini bisa diartikan bahwa suhu akan mengalami kenaikan 0,03 derajat celcius setiap tahunnya sehingga dalam 30 tahun lokasi tersebut akan mengalami kenaikan sebesar 0,9 derajat celcius,” tulis BMKG.

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Cuaca Ekstrem Jadi Indikasi Perubahan Iklim

Peneliti Ahli Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Erma Yulihastin mengatakan indikasi perubahan iklim dapat ditunjukkan oleh pola cuaca yang berubah dan tidak sesuai dengan tipe-tipe cuaca berdasarkan musim. Oleh karena itu, pola cuaca ekstrem juga berubah.

“Cuaca ekstrem ditunjukkan melalui frekuensi hujan ekstrem yang kerap terjadi di wilayah Indonesia khususnya untuk wilayah Sumsel, Lampung, Jawa bagian barat dan tengah. Sementara itu, untuk wilayah Jawa bagian timur, Lombok, Bali, NTB, NTT, hujan ekstrem meningkat selama musim kemarau,” kata Erma dalam acara seminar online.

Erma menyebut cuaca ekstrem akan mengalami eskalasi skala spasial yang semakin luas dan skala temporal yang lebih panjang. Akibatnya, membangkitkan kejadian ekstrem (extreme event) di atmosfer dan skala dampak yang ditimbulkan pun menjadi masif dan luas. 

Dia menjelaskan ada perbedaan antara cuaca ekstrem dan kejadian ekstrem. Cuaca ekstrem biasanya terjadi untuk skala yang lokal di suatu wilayah tertentu dan memiliki durasi kejadian yang singkat (kurang dari sejam atau maksimal sekitar dua hingga tiga jam). 

Sedangkan, kejadian ekstrem secara waktu lebih lama karena memiliki setidaknya dua ciri, yaitu bertahan lama (persisten) dan terus berlanjut (sustain). Dari skala spasial nya kejadian ekstrem ini mencakup lebih luas. Hal ini dikarenakan mengacu pada gangguan cuaca skala sinoptik dalam rentang skala spasial ratusan hingga ribuan kilometer. Selain itu, dampak merusak dari suatu kejadian ekstrem bersifat katastropik atau massal, dapat menelan korban ratusan bahkan ribuan jiwa.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kejadian ekstrem ini mengalami peningkatan karena faktor penyebabnya semakin intensif terjadi di Indonesia. 

“Studi tersebut menjelaskan mengenai mekanisme terbentuknya cikal bakal bibit Siklon Seroja yang tumbuh dari badai vorteks intensif selama 10 hari di perairan Banda, dan berlanjut terus menjadi siklon Seroja dan menelan korban 181 orang meninggal di Flores, NTT, pada 4 April 2021,” ujar Erma.

 

3 dari 3 halaman

Perubahan Musim

Sebelumnya, sejak 1979 suhu bumi tidak pernah mengalami anomali positif dengan tren yang terus meningkat. Saat itu anomali suhu global di atmosfer mendingin dalam rentang waktu yang sangat lama. Namun, sejak 1940 anomalinya berubah positif, lalu negatif dan mendingin. Peristiwa ini disebut dengan Natural Variability Climate.

“Sejak tahun 1980 sampai sekarang, para ilmuwan dunia memperhatikan bahwa peningkatan suhu yang naik sejak tahun tersebut tidak pernah turun lagi. Dari sinilah para ilmuwan kemudian menemukan bahwa konsentrasi CO2 menjadi jawaban atas tidak menurunnya temperatur global,” ujar Erma dalam keterangannya di situs BRIN.

Erma menyebut sejak saat itu manusia tidak berada lagi pada ranah variabilitas iklim tapi melainkan ranah perubahan iklim. 

“Perkiraan pemanasan global sampai dengan Februari 2023 adalah 1,21 derajat celcius dan karena kita ini sudah berada di domain perubahan iklim maka tidak akan pernah ada lagi penurunan dan itulah yang ingin diredam untuk memperlambat laju kenaikannya,” ungkapnya.

Kemudian, setiap wilayah merespon perubahan iklim dengan berbeda-beda. Menurutnya, parameter apa yang paling sensitif berubah dan daerah mana yang paling sensitif adalah yang harus dipetakan. 

“Kami di BRIN melakukan kajian itu sehingga pertama yang ingin kami lihat itu indikasinya kalau ada perubahan iklim berarti ada perubahan pola musim dan pola cuaca, itu yang ingin kami deteksi, itu yang ingin kami kaji,” kata Erma.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat