uefau17.com

Praktisi Hukum Ingatkan Soal Penerapan Pidana Mati di KUHP Baru - News

, Jakarta - Praktisi Hukum Senior Todung Mulya Lubis menilai ada kekosongan hukum dalam Implementasi Pidana Mati. Menurut Todung, kekosongan hukum mengenai pengaturan pidana mati berpotensi menimbulkan polemik pada saat UU No.1 Tahun 2023 berlaku.

“Pasca diundangkannya UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menimbulkan banyak diskursus baru. Salah satu terobosan yang dibawa UU tersebut adalah pengaturan baru mengenai pidana mati yang juga dihiasi oleh beragam pro dan kontra,” kata Todung dalam keterangan diterima, Kamis (6/7/2023).

Todung menegaskan, dirinya konsisten menolak hukuman mati dalam kasus apa saja dan kepada siapa saja. Sebab, perubahan pidana mati yang tertuang dalam Pasal 100 merupakan langkah positif dari sejarah panjang Indonesia yang menolak penghapusan pidana mati.

Todung mengaku, perjuangannya menghapuskan hukuman mati bukan baru kali ini saja. Tetapi, sejak 1979 dirinya terus menuntut penghapusan hukuman mati.

“Karena hukuman mati dari segala sisi tidak memberikan dampak dan juga tidak mengurangi angka kejahatan. Namun muara pada KUHP baru yang memuat mengenai hukuman mati,” jelas Founder and Senior Partner di Firma Hukum Lubis Santosa & Maramis.

Meski KUHP baru masih berlaku tiga tahun lagi, namun Todu mewanti adanya tantangan dalam implementasi pasal pidana mati. Todung mengingatkan, ketika hukuman mati dijatuhkan maka terpidana tidak bisa dihidupkan kembali. Padahal ada banyak bukti di banyak negara bahwa terpidana yang dijatuhi pidana mati belum tentu pelaku tindak pidana yang sebenarnya.

“Perlu paling tidak kebijakan yang bisa dijadikan rujukan bagi semua aparat penegak hukum dalam menghadapi kasus pidana mati yang kita punya sekarang ini di Indonesia,” saran dia.

Todung meyakini, melihat urgensi kebijakan perantara untuk mengakomodasi kekosongan dalam implementasi pelaksanaan hukuman mati, tidak harus mengorbankan apa yang tidak perlu dikorbankan, sehingga bisa menerapkan hukum itu secara lebih adil dan lebih manusiawi.

Todung mengaku, dirinya hanya ingin realistis dan fokus pada apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi KUHP baru yang telah diundangkan saat ini dan bisa saling membantu untuk mengakomodasi kekosongan kebijakan perantara dalam implementasi pelaksanaan pidana mati.

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kekosongan Hukum Pidana Mati Perlu Dilengkapi

Senada dengan Todung, Leonard Arpan Aritonang juga menilai kekosongan hukum aturan pidana mati bagi terpidana mati saat ini sebagai urgensi kebijakan perantara.

Dia memastikan, kekosongan pengaturan itu perlu dilengkapi dengan memberi kesempatan yang sama kepada terpidana mati yang tidak mengajukan grasi untuk tetap memperoleh komutasi jika ia tidak dieksekusi bukan karena melarikan diri.

“Komutasi alternatif dalam Pasal 101 KUHP baru hanya berlaku terbatas bagi terpidana mati yang memutuskan untuk menggunakan haknya untuk mengajukan grasi yang kemudian ditolak,” kata pria yang berkarir di LSM Law Firm ini.

“Jangan sampai menghukum orang yang tidak pantas dihukum. Apalagi menghukum orang tersebut dengan hukuman mati,” dia menandasi.

Hukuman Mati Jadi Pidana Bersifat Khusus

Sebagai informasi, dalam KUHP baru, pidana mati diatur sebagai pidana yang bersifat khusus dan diancam secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun.

Selain itu, pidana mati kini dijatuhkan dengan masa percobaan 10 tahun bergantung pada sikap dan perbuatan terpidana selama percobaan terpidana mati memperoleh kesempatan agar pidana mati yang sudah dijatuhkan dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup.

Tidak hanya itu, adanya kekosongan hukum mengenai pengaturan pidana mati berpotensi menimbulkan polemik, khususnya mengenai keberlakuan KUHP baru bagi terpidana mati yang divonis berdasarkan Wetboek van Strafrecht.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat