uefau17.com

Jelang Sidang Vonis, Baiquni Wibowo Dinilai Bisa Bebas dari Tuntutan - News

, Jakarta - Terdakwa kasus obstruction of justice perkara kematian Brigadir J, Baiquni Wibowo, dijadwalkan menjalani sidang putusan atau vonis pada Jumat 24 Februari 2023 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mantan anggota Polri itu pun dinilai patut untuk dibebaskan.

Pakar Komunikasi, Emrus Sihombing, menilai bahwa penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap Baiquni tidaklah tepat. Mengingat tindakan merusak barang elektronik disebutnya tidak masuk dalam pelanggaran UU ITE.

“Saya bicara aspek komunikasi. Saya terus terang UU ITE itu menurut sepanjang yang saya tahu sebagai komunikolog, itu bukan bicara perusakan peralatan. Perusakan peralatan itu kan bentuk lain, justru UU ITE yang ditransaksikan kan pesan. Jadi bukan teknologinya. Jadi UU ITE itu adalah transaksi, transaksi itu apa, ya komunikasi. Maka di dalam komunikasi salah satu teorinya itu adalah tentang pertukaran pesan informasi,” tutur Emrus kepada wartawan, Kamis (23/2/2023).

Menurut Emrus, terkait pengerusakan teknologi semisal kabelnya, antena, atau yang sejenisnya tidak termasuk dalam transaksi informasi, yakni mengoper konten dari satu pihak ke pihak lain.

“Jadi sepanjang yang saya tahu, UU ITE itu menyangkut konten, isi daripada yang ditransaksikan. Jadi bukan teknologinya. Kan ITE informasi transaksi elektronik, bukan teknologi. Transaksi pesan yang saya lihat di sana. Kalau perusakan peralatan adalah hal lain. Itu sama saja kita merusak rumah atau benda-benda lain,” jelas dia.

Emrus juga menyoroti sosok Baiquni Wibowo yang hanya menjalankan perintah dari atasannya yakni Ferdy Sambo. Dari kacamata komunikasi, lanjutnya, pesan yang disampaikan atasan kepada bawahan jika tidak dituruti maka akan ada dampak atau punishment.

“Jadi kalau perintah atasan kepada bawahan apakah bentuknya persuasif, memaksa, memerintah, atau pesan mengajak, membujuk, tentu relasi di situ power, ada di atasan. Maka bawahan sulit menolak,” kata Emrus.

Contoh sederhana, lanjutnya, jika atasan tertawa secara tidak langsung bawahan ikut tertawa meski tidak ada hal yang lucu. Dari situ, dapat dimaknai bahwa bawahan sangat sulit menolak keinginan atasan lantaran nasipny ada di momen tersebut.

“Saya melihat, sebagai bawahan karena sudah dewasa ketika ada pelanggaran hukum mungkin dia ikut bertanggung jawab tetapi yg paling bertanggung jawab adalah atasan karena itu permintaan, perintah, membujuk, apapun. Atasan bertanggung jawab lebih dibanding bawahan meski bawahan juga bertanggung jawab karena sudah dewasa,” bebernya.

Tidak ketinggalan, Emrus mengulas tindakan menduplikat atau copy yang juga terjadi pada kasus Baiquni Wibowo. Bahwa pada dasarnya ketidaktahuan dapat membebaskan terdakwa dari hukuman.

“Saya berpendapat artinya tindakan merekam (meng-copy) itu kan dia tidak tahu, isinya apa, dan tindakan merekam pun jadi dimanfaatkan, menjadi alat bukti. Kalau saya berpendapat orang yang merekam karena ketidaktahuan ya dia harus dibebaskan, bukan memperingan lagi. Karena dia tidak tahu, terlepas siapa orangnya,” tuturnya.

“Dalam pandangan saya kalau dia diperintahkan merekam tapi dia tidak tahu peristiwa yang sesungguhnya dan bahkan rekaman itu ada manfaatnya bagi proses selanjutnya dan dia dia tidak tahu tujuannya apa ya saya berpendapat orang seperti itu harusnya dibebaskan. Dalam konteks itu ya,” Emrus menandaskan.

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Hanya Laksanakan Tugas

Menurut tim penasihat hukum Baiquni Wibowo, Junaedi Saibih apa yang dilakukan kleinnya hanya melaksanakan tugas kedinasan atau perintah atasan yang sah. Berdasarkan UU Pelayanan Publik pejabat pelaksana tidak dapat dipersalahkan.

"Jadi majelis hakim sudah sepantasnya mengedepankan ratio legis dalam pertimbangannya sebagaimana yang kami uraikan. Bahwa cukup alasan untuk tidak menjatuhkan pidana apa pun terhadap para terdakwa," kata dia.

Lagipula, kata Junaedi, dalam kesaksianya Pakar Komunikasi Universitas Airlangga Henri Subiakto yang dihadirkan dalam persidangan pada 19 Januari 2023 menyebut Arif Rahman tak bisa dituntut dengan Pasal 33 UU ITE. Menurut dia, dalam Pasal 33 itu yang ingin dilindungi adalah fungsinya.

"Jadi harus terpenuhi bahwa ada fungsi yang terganggu akibat tindakan non fisik tersebut. Sedangkan dalam fakta persidangan tidak terbukti tindakan Baiquni yang dapat mengganggu fungsi Sistem CCTV Kompleks," kata Junaedi mengutip kesaksian Henri.

Menurut Junaedi, pada tahun 2021 Presiden Jokowi juga merasa banyak masalah dalam UU ITE, salah satu alasannya karena muncul pernyataan dari lembaga HAM PBB atau SPMH bahwa Indonesia telah melakukan judicial harassment karena menerapkan UU ITE tidak sesuai dengan asas hukum yang berlaku.

"Maka kemudian Presiden menunjuk Menkopolhukam untuk mengatasi masalah ini. Menindaklanjuti arahan dari Presiden, dibuatkanlah SKB (Surat Keputusan Bersama) sebagai pedoman yang disusun oleh menkopolhukam bersama Jaksa Agung, Kapolri, dan Kominfo," kata Junaedi.

Diketahui, Baiquni dituntut 2 tahun denda Rp10 juta subsider 3 bulan kurungan. Baiquni disebut menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan yang berakibat terganggunya sistem elektronik menjadi tidak bekerja semestinya.

Sistem elektronik dalam perkara ini adalah rekaman kamera keamanan (CCTV) di rumah dinas mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Ferdy Sambo.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat