uefau17.com

Soal Penanganan Kusta, Kadinkes Kabupaten Bekasi: Saya Miris dan Galau - Health

, Jakarta - Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kabupaten Bekasi dr. H. Alamsyah, M.Kes mengungkapkan kegalauannya soal penanganan kusta di daerahnya.

“Saya miris dan galau. Boro-boro tahu membantu penanganan kusta, melihat pasien kusta pun mungkin amat jarang bagi para dokter muda dan mahasiswa ilmu kedokteran. Padahal, situasi kusta lumayan banyak di Kabupaten Bekasi,” kata Alamsyah dalam acara penandatangan kerja sama penanganan kusta di Bandung, 15 Desember 2022.

Kerja sama penanganan kusta ini dijalin antara Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Kuningan, dan Yayasan NLR Indonesia.

Alamsyah pun mengapresiasi kegiatan penanganan kusta di perkotaan (urban leprosy) yang digagas yayasan tersebut. Baginya, kegiatan ini dapat menjadi jawaban atas puzzle tentang kondisi kusta di Kabupaten Bekasi.

Dia menjelaskan, ada kecenderungan warga ibu kota yang tinggal di daerahnya untuk lebih mungkin berkunjung ke rumah sakit atau klinik ketimbang puskesmas untuk memeriksakan kesehatan. 

“Umumnya kasus kesehatan di Kabupaten Bekasi dialami warga-warga termasuk warga Jakarta yang bekerja dan tinggal di Bekasi. Orang Jakarta di Kabupaten Bekasi sangat kecil kemungkinan datang ke Puskesmas,” kata Alamsyah.

“Mereka cenderung datang ke rumah sakit atau klinik. Mungkin kegiatan urban leprosy ini bisa menjawab teka-teki tentang kusta ini,” tambahnya.

Seperti diketahui, penanganan kusta dilakukan di puskesmas, bukan di rumah sakit atau klinik. Di puskesmas pula lah para pasien kusta bisa mendapat obat kusta gratis.

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Urban Leprosy

Lebih lanjut, kegiatan urban leprosy di Kabupaten Bekasi akan dilaksanakan selama tiga tahun. Kegiatan ini akan menyasar pada ratusan dokter di rumah sakit swasta, klinik maupun praktik mandiri agar turut serta dalam mendukung sistem rujukan kasus kusta yang mereka temui sehari-hari ke puskesmas setempat.

Artinya, dokter di rumah sakit, klinik, atau praktik mandiri akan diarahkan untuk merujuk pasien ke puskesmas jika pasien tersebut diduga mengidap kusta. Salah satu ciri kusta yang bisa dilihat adalah bercak keputihan di kulit yang tidak terasa saat disentuh.

Menurut Alamsyah yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kabupaten Bekasi, terdapat 53 rumah sakit, 440 klinik dan 1.800 dokter baik spesialis maupun umum di Kabupaten Bekasi.

Selain itu terdapat dua universitas yang memiliki fakultas kedokteran dan sekolah tinggi ilmu kesehatan.

3 dari 4 halaman

Memperluas Edukasi

Alamsyah menambahkan, penanganan kusta perlu dilakukan dengan kerja sama berbagai pihak. Salah satunya penanganannya yakni dengan memperluas edukasi.

“Ini adalah kerja bersama kita dalam penanggulangan kusta di Kabupaten Bekasi termasuk mengedukasi mahasiswa dan lulusan kedokteran tentang kusta.”

“Sering terjadi, lulusan-lulusan baru tidak tahu tentang kusta. Mereka tahu kusta secara teori tetapi jarang melihat pasien kusta apalagi diharapkan bisa membantu menangani kusta,” katanya.

Maka dari itu, ia menyarankan adanya pemanfaatan jalur pendidikan kesehatan untuk minimal menanamkan edukasi tentang kusta pada para dosen dan mahasiswa kedokteran dan ilmu kesehatan.

“Dokter jadul seperti kita ini tahu tentang kusta, tapi ironisnya dokter-dokter muda di RSUD tidak tahu bagaimana menangani kusta,” ujarnya.

4 dari 4 halaman

Tangani dengan Cinta

Menurutnya, penanganan kusta membutuhkan rasa cinta agar bisa menepis stigma.

“Kusta harus ditangani dengan rasa cinta. Kusta menjadi suatu penyakit dan tidak bisa diatasi tanpa rasa cinta. Juga stigma kusta menjadi hulu dari disabilitas kusta dan kasus baru kusta. Tanpa cinta, stigma kusta sulit ditangani,” katanya.

Sebagian masyarakat Indonesia belum mengetahui betul apa itu penyakit kusta. Ketidaktahuan tersebut akhirnya memicu berbagai stigma.

Menurut Kepala Puskesmas Pondoh Indramayu, Novie Indra Susanto, masyarakat di pedesaan sebetulnya sudah mulai terbuka pengetahuannya. Namun, di pelosok-pelosok bisa saja masih ditemukan anggapan bahwa penyakit ini adalah penyakit yang menjijikkan dan bahkan kutukan.

“Di pelosok-pelosok mungkin masih ada saja yang menganggap bahwa itu adalah kutukan. Misalnya, ada masalah antar tetangga, seorang bapak dianggap jahat, kemudian anak dari bapak tersebut terkena kusta, maka anggapan yang muncul adalah anak itu kena kusta akibat bapaknya jahat,” ujar Novie kepada Health saat kunjungan ke Desa Segeran, Indramayu Rabu 6 Juli 2022.

Selain dari masyarakat, stigma juga bisa datang dari diri sendiri sebagai pasien kusta.

“Intinya bukan cuma dari masyarakat luar yang tidak sakit, tapi dari si yang sakitnya pun mindset-nya itu masih malu, minder, atau merasa ada yang dia takutkan kalau dia menderita kusta. Bagaimana anggapan masyarakat, bagaimana keluarganya, dan hal-hal lainnya.”

Pikiran-pikiran tersebut secara tidak disadari bisa membuat pasien mengisolasi diri sendiri. Jika demikian, maka produktivitasnya bisa menurun, malas berobat, sedangkan penyakit tetap berlangsung.

“Akhirnya yang dikhawatirkan itu timbul disabilitas. Jika sudah seperti itu ya disabilitasnya tidak bisa dikembalikan walaupun kustanya sudah sembuh,” katanya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat