uefau17.com

HEADLINE: Wacana Sertifikat Vaksinasi COVID-19 Jadi Syarat Bepergian, Plus Minusnya? - Health

, Jakarta - Program vaksinasi COVID-19 membangkitkan kembali optimisme roda perekonomian di Indonesia bergerak lebih baik. Wacana mengenai sertifikat vaksinasi COVID-19 jadi syarat pelaku perjalanan pun menyeruak ke permukaan.

Wacana sertifikat vaksinasi COVID-19 sebagai syarat perjalanan sempat digulirkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi IX DPR RI pada Senin, 15 Maret 2021. Saat itu, Budi menyampaikan orang-orang yang sudah divaksin mungkin tidak perlu menunjukkan bukti tes negatif COVID-19 setiap bepergian.

"Kalau sudah lebih banyak yang divaksin, mungkin make sense (masuk akal)," kata Budi dalam tayangan yang disiarkan YouTube DPR RI.

Di kesempatan berbeda, Budi mengatakan bahwa sertifikat vaksinasi COVID-19 sebagai syarat pelaku perjalanan memang masih sekadar wacana.

"Mengenai praktik sertifikat vaksinasi COVID-19 rencananya memang akan digunakan untuk integrasi dengan standar protokol kesehatan baru," kata Budi saat konferensi daring belum lama ini.

Bila jumlah orang yang sudah menerima suntikan vaksin COVID-19 sudah banyak baru bakal dipertimbangkan mengenai sertifikat vaksinasi COVID-19 untuk syarat aneka kegiatan.

"Kalau di Amerika, transportasi, acara konser bisa digunakan berbasis sertifikat vaksinasi COVID-19. Nah nanti, begitu jumlahnya (orang divaksin) kita sudah cukup banyak, baru dipertimbangkan ke sana (penggunaan sertifikat vaksinasi)," terang Budi.

Saat ini, Kementerian Kesehatan baru mempersiapkan panduan tersebut. "Kami sekarang sedang mempersiapkan panduannya. Ya, sudah mulai mempersiapkan protokol-protokol kesehatan baru untuk masing-masing aktivitas. "Sehingga nantinya sertifikat vaksinasi COVID-19," kata Budi.

Ke depannya, sertifikat vaksinasi COVID-19 bisa jadi instrumen dalam menjalankan protokol kesehatan yang baru.

"Memang sertifikat vaksinasi ini akan digunakan sebagai salah satu instrumen dalam implementasi protokol kesehatan yang baru untuk setiap aktivitas," imbuhnya.

Di dalam kesempatan tersebut, Budi juga dengan tegas mengatakan bahwa seseorang yang sudah disuntik vaksin COVID-19 bisa tetap terkena virus Corona dan menularkan ke orang lain.

"Saya pernah bicara soal sertifikat vaksinasi COVID-19 pada awal saya jadi Menkes. Dan itu memicu perdebatan di kalangan epidemiolog," kata Budi.

"Kalau sudah divaksin ya belum ada guarantee (jaminan), bahwa seseorang dijamin tidak terkena dan menularkan virus Corona." 

Simak Juga Video Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

Perlu Kajian Studi

Satuan Tugas Penanganan COVID-19 pun angkat bicara mengenai sertifikat vaksinasi untuk syarat pelaku perjalanan. Dengan tegas, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan bahwa hal ini masih wacana.

Harus ada studi efektivitas vaksin sebelum kebijakan ini diberlakukan. "Pada saat ini, masih dikumpulkan studi tentang efektivitas vaksin terhadap tercapainya kekebalan terhadap individu yang telah divaksinasi," tegas Wiku saat konferensi pers di Media Center COVID-19, Graha BNPB, Jakarta, pada Kamis, 18 Maret 2021.

"Apabila sertifikat vaksinasi dikeluarkan tanpa ada studi yang membuktikan bahwa kekebalan individu tercipta, maka pemegang sertifikat berpotensi tertular atau menularkan virus Corona."

Mengenai potensi tertular ataupun menularkan COVID-19 meski sudah divaksinasi pun pernah dikatakan Juru Bicara Vaksinasi Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi dalam kesempatan berbeda.  

Siti Nadia mengatakan seseorang yang sudah mendapatkan vaksin COVID-19 sebanyak dua kali atau dua dosis masih bisa terjangkit COVID-19. Sebab, vaksin tidak bisa melindungi manusia dari paparan COVID-19.

"Jadi kita tahu walaupun sudah divaksin, vaksin ini tidak menyebabkan kita tidak menjadi tertular," katanya dalam konferensi pers, Senin (15/3/2021). 

Nadia menjelaskan, vaksin COVID-19 hanya memicu pembentukan antibodi dalam tubuh. Antibodi tersebut bisa menurunkan risiko sakit berat jika seseorang terjangkit virus SARS-CoV-2 itu.

"Jadi vaksinasi ini kita tahu menurunkan risiko untuk menjadi sakit. Tapi dia tidak melindungi kita dari penularan virus COVID-19," ujarnya.

Karenanya Nadia meminta masyarakat tetap mematuhi protokol kesehatan meski telah divaksin. Masyarakat harus menggunakan masker, menjaga jarak, mengurangi mobilitas, menghindari kerumunan dan mencuci tangan dengan sabun di air mengalir. 

"Jadi setelah vaksin di tengah pandemi ini kita tetap harus melakukan protokol kesehatan. Kenapa? Karena namanya pandemi kondisi perang, perang sama virus COVID-19 yang virusnya sangat banyak saat ini. Artinya dia mengintai kita setiap saat, kapan kita lengah dia langsung menyerang kita," tandasnya.

3 dari 6 halaman

Tuai Pro dan Kontra

Penggunaan sertifikat vaksinasi untuk syarat perjalanan sebenarnya bukan hal baru. Misalnya, pemerintah Arab Saudi yang mewajibkan vaksinasi Meningitis bagi siapa saja yang akan datang ke negaranya. Bukti sudah divaksin dengan adanya buku ICV Meningitis Meningokokus yang menjadi salah satu syarat pengajuan visa termasuk bagi jamaah umrah dan haji.

Ketika wacana sertifikat vaksinasi COVID-19 untuk pelaku perjalanan bergulir di dalam negeri, pro kontra hadir. Beberapa pakar mengatakan boleh-boleh saja tapi tidak sedikit yang menyatakan keberatan.

Pakar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Tri Yunis Miko Wahyono menyayangkan sikap pemerintah yang berencana menjadikan sertifikat vaksin COVID-19 menjadi syarat bepergian.

"Pertanyaannya, pemerintah menjamin yang sudah divaksinasi enggak akan kena COVID-19? Itu dulu jawab. Kalau jawabannya tidak, jangan jadikan 'jaminan'," kata Miko saat dihubungi Health melalui sambungan telepon pada Senin siang, 22 Maret 2021.

Alasannya, lanjut Miko, efikasi vaksin Sinovac sekitar 65,3 persen yang berarti dapat mengurangi jumlah kasus COVID-19 sebanyak 65,3 persen pada populasi yang menerima vaksin Corona. Namun, target dari pemerintah adalah 70 persen.

"Jangan menjadikan kita bodoh gitu lho. Itu dulu dipikirin. Jangan membodohi diri sendiri," ujarnya.

Selain itu, lihat saja kasus-kasus yang sudah ada. Tidak sedikit kepala daerah atau orang awam yang masih tertular virus Corona penyebab COVID-19 meski sudah menerima suntikan vaksin Corona sebanyak dua dosis.

Miko, mengatakan, sebelum pemerintah merencakan atau mewacanakan sesuatu, lihat dulu indikator-indikator yang terjadi selama situasi COVID-19.

"Pemerintah harus memerhatikan masyarakatnya. Kalau indikator positivity rate-nya kurang dari lima persen, pembatasan sosial bolehlah dilonggarin. Akan tetapi kalau masih lima sampai 10 persen atau bahkan lebih, batasi. Pembatasan sosial harus tetap dilakukan," katanya.

"Jangan memperbodoh dirilah, kira-kira begitu. Jadi, sebaiknya, lakukan yang benar-benar memproteksi warganya. Jangan juga memersulit, tapi jangan juga memermudah. Pemerintah harus memproteksi warganya dari infeksi COVID-19," Miko menekankan.

4 dari 6 halaman

Protokol Kesehatan Tidak Boleh Kendor

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Hasbullah Thabrany mengatakan sertifikat vaksinasi COVID-19 merupakan bukti penting bahwa seseorang sudah divaksin. Jika wacana ini kemudian diberlakukan, maka sama sekali tidak ada ruginya. Orang yang memiliki sertifikat ini dapat bepergian ke mana-mana dengan lebih aman. 

“Apabila dia telah dua kali divaksinasi dan diberikan sertifikat, peluangnya menjadi penular virus menjadi sangat kecil dan peluangnya menjadi penderita COVID-19 juga kecil,” ujar Hasbullah kepada Health melalui pesan suara, Senin (22/3/2021)

Namun, perlu diingat bahwa imunitas yang muncul ada batas waktunya. "Tidak seumur hidup, tidak selamanya, jadi nanti harus diikuti dengan informasi berapa lama masa proteksi dari vaksin COVID-19.”

Hasbullah juga mencontohkan sertifikat vaksin meningitis yang disyaratkan bagi jemaah haji. Menurutnya, fungsinya cenderung sama dengan sertifikat vaksin COVID-19.

“Kalau seseorang yang telah divaksinasi dua kali, InshaAllah dia memiliki kekebalan dan peluangnya menularkan kepada orang sangat sedikit.”

“Tapi bukan berarti sertifikat yang menjamin seseorang aman dari COVID, sertifikat mah sekadar catatan. Bukan sertifikatnya yang menyebabkan orang terhindar dari COVID tapi menunjukkan bahwa orang itu telah mendapat vaksin dan peluang tertularnya menjadi lebih kecil,” tutup Hasbullah.

Lalu, Profesor Ari Fahrial Syam, Guru Besar Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mengatakan boleh-boleh saja bila sertifikat vaksinasi untuk syarat perjalanan dilakukan demi meningkatkan cakupan vaksinasi COVID-19.

"Silahkan saja. Menurut saya sertifikat itu menunjukkan dia sudah divaksin."

Senada dengan Hasbullah, Ari mengatakan secara teori dia relatif cukup kecil kemungkinan untuk tertular atau menularkan.

Dia menambahkan, sebelum kekebalan kelompok atau herd immunity belum benar-benar tercipta, maka bahaya dari COVID-19 masih terus mengintai bagi semua orang termasuk mereka yang sudah divaksin.

"Sebelum mencapai herd immunity kan berarti masih ada masalah. Artinya orang yang sudah divaksin pun tetap bisa ketularan. Saya tetap, seaman-amannya tetap protokol kesehatan harus dilaksanakan."

Selain itu, apabila orang sudah divaksin terinfeksi, maka risiko menularkan ke orang lain pun masih ada. "Karena kita tidak tahu apakah di tubuhnya terbentuk antibodi atau tidak."

Bila memang kebijakan ini berlaku, menurut Ari harus dengan dengan beberapa ketentuan. Misalnya orang tersebut sudah divaksin lengkap empat minggu yang lalu.

Selain itu, Ari menegaskan bahwa yang terpenting adalah dengan tetap menjaga protokol kesehatan meski sudah mendapatkan vaksin COVID-19. Penerapan protokol kesehatan tidak bisa digantikan dengan yang lain.

"Protokol kesehatan tetap dijalankan. Walaupun bagaimana, dia tetap ada risiko (tertular COVID-19)," ujar Dekan FKUI itu menambahkan.

5 dari 6 halaman

Jika Berlaku, Jangan Sampai Diskriminasi bagi yang Tidak Bisa Divaksin

Ketua Satgas COVID-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban meminta agar pemerintah memastikan tak ada diskriminasi bila kebijakan sertifikat vaksinasi untuk bepergian berlaku. Dalam hal ini, tak ada diskriminasi terhadap orang yang belum divaksin.

"Jika memang kebijakan sertifikat vaksinasi ini lahir, perlu juga dipastikan tidak ada diskriminasi untuk orang-orang yang tidak bisa divaksin," terang Zubairi melalui cuitan akun Twitter pribadinya.

"Misalnya, orang dengan penyakit akut kronik atau belum terkendali (gejala penyakitnya). Kebijakan itu harus adil juga untuk mereka."

Menurut Zubairi, wacana sertifikat vaksinasi COVID-19,butuh analisis lebih rinci mengenai rentang waktu seseorang terlindungi dari virus Corona usai divaksin.

"Ini wacana menarik. Bayangan saya, calon penumpang pesawat harus menunjukkan sertifikat vaksin pada bagian kontrol dan tak ada lagi testing (pemeriksaan) atau karantina pada saat kedatangan," jelasnya.

"Padahal, kita belum tahu, sejauh mana vaksin mencegah penerimanya untuk menularkan virus Corona. Sebab itu, sebelum muncul kebijakan ini  kita harus tahu dulu, kapan orang itu akan terlindungi dari infeksi setelah divaksinasi."

Zubairi Djoerban menekankan, hingga saat ini belum ada kepastian penerima vaksinasi COVID-19 tidak menularkan virus Corona. Oleh karena itu, penggunaan sertifikat vaksinasi COVID-19 memang harus dipertimbangkan matang.

"Apakah jika sekarang divaksin, besoknya kebal? Kan tidak. Seminggu? Belum juga. Sebulan? Itu baru muncul kekebalan yang lumayan. Makanya, harus diperhitungkan dengan rigid (baku), kalau mau dibuat kebijakan ini," paparnya.

"Amannya, ya dua bulan setelah divaksin yang pertama atau minimal dua minggu setelah vaksin yang kedua—baru si penerima vaksin cukup terlindungi dari COVID-19. Yang jelas, belum ada kepastian, apakah penerima vaksin itu tidak menularkan virus ke orang."

6 dari 6 halaman

6 Negara dengan Kebijakan Sertifikat Vaksinasi untuk Bepergian

Selain di Indonesia, wacana mengenai sertifikat vaksinasi COVID-19 sebagai salah satu syarat bepergian juga muncul di negara lain. Sejumlah negara diketahui mempertimbangkan menerapkan sertifikat vaksin COVID-19 bagi warga yang hendak bepergian ke luar kota.

Sertifikat vaksin ini, adalah untuk memperkuat bukti mereka yang ingin bepergian telah divaksinasi dan memiliki hasil tes yang negatif COVID-19.

Salah satunya adalah Uni Eropa, yang telah menyiapkan proposal untuk paspor COVID-19 sebagai izin travel di zona mereka, yang akan menjadi bukti bahwa seseorang sudah mendapat vaksin agar diizinkan bepergian.

Berikut adalah deretan kebijakan sertifikat atau paspor vaksin COVID-19 di negara-negara di dunia:

1. Arab Saudi

Sertifikat vaksin COVID-19 kini jadi suatu keharusan bagi para peziarah yang hendak menunaikan ibadah haji. Menteri Kesehatan Arab Saudi Tawfiq al-Rabiah mengatakan, "vaksinasi wajib" dan diperlukan untuk semua jemaah yang berencana menunaikan ibadah haji.

Rabiah tidak mengkonfirmasi apakah jemaah dari luar kerajaan akan diizinkan untuk melakukan haji, tetapi mengatakan vaksin akan menjadi "syarat utama" untuk berpartisipasi, demikian dikutip dari laman middleeasteye.

Haji adalah salah satu dari lima rukun Islam. Muslim yang mampu secara fisik dan finansial diwajibkan melakukannya setidaknya sekali seumur hidup mereka.

Ibadah haji tiap tahun biasanya akan menarik setidaknya 2,5 juta orang dari seluruh dunia. Namun pada 2020, Riyadh membuat keputusan bersejarah untuk membatasi jumlah jemaah haji karena pandemi virus Corona COVID-19.

2. Cina

Pada 8 Maret 2021, Cina meluncurkan program sertifikat kesehatan untuk para pelancong internasional.

Dilansir AFP, program tersebut menjadikan Cina sebagai negara pertama di dunia yang memiliki sebuah sertifikat yang mereka sebut 'paspor bebas virus COVID-19'.

Sertifikat digital, yang menunjukkan status vaksinasi pengguna dan hasil tes COVID-19, tersedia untuk warga Cina melalui program di platform media sosial WeChat.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China mengatakan bahwa sertifikat itu diluncurkan "untuk membantu mendorong pemulihan ekonomi dunia dan memfasilitasi perjalanan lintas batas".

Meskipun demikian, sertifikat kesehatan internasional saat ini hanya tersedia untuk digunakan oleh warga negara Cina dan belum wajib digunakan.

Ditambah lagi, belum adanya indikasi pihak berwenang di negara lain yang akan menggunakannya.

Sertifikat tersebut, yang juga tersedia dalam bentuk kertas, dianggap sebagai "paspor bebas COVID-19" pertama di dunia.

3. Eropa

Para pejabat Uni Eropa telah memperingatkan bahwa sertifikat digital vaksinasi COVID-19 untuk memulai perjalanan ke luar negeri harus diberikan kepada warga negara di seluruh Eropa tanpa diskriminasi.

Hal itu bertujuan untuk memungkinkan siapa pun yang divaksinasi COVID-19, atau yang telah dites negatif, atau baru saja pulih dari virus Corona untuk bepergian di dalam wilayah Eropa.

Dilansir BBC News, 27 negara anggota Uni Eropa akan memutuskan bagaimana menggunakan sertifikat digital baru tersebut.

Di sisi lain, paspor vaksin telah menghadapi tantangan dari beberapa negara anggota Uni Eropa atas kekhawatiran bahwa aturan mungkin bisa memunculkan kasus diskriminasi.

Namun, beberapa pejabat Komisi Eropa telah menjelaskan bahwa mereka ingin menghindari diskriminasi.

Menjelang pengumuman sertifikat vaksin oleh Uni Eropa, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa pihaknya sedang bekerja untuk "menciptakan kerangka kerja tepercaya internasional" untuk perjalanan yang aman, tetapi vaksinasi seharusnya tidak menjadi syarat.

4. Inggris

Sementara itu, di Inggris, Sekretaris Bisnis Inggris, Kwasi Kwarteng mengatakan bahwa pemerintah negara itu sedang meninjau ide pemberlakukan paspor vaksin COVID-19 dan telah mendiskusikan cara terbaik untuk melanjutkannya.

"Kami sedang berdebat, berdiskusi tentang perjalanan, tapi saya pikir apa yang juga harus kami lakukan adalah didorong oleh data, kami harus melihat bagaimana virus corona berkembang," katanya kepada BBC.

5. Islandia

Islandia sekarang mengizinkan semua pelancong mengunjungi negara itu selama mereka memiliki sertifikat vaksinasi COVID-19.

Kementerian Kesehatan Islandia mengumumkan bahwa jika seorang pelancong memiliki sertifikat vaksinasi yang dikeluarkan oleh European Medicines Agency atau Organisasi Kesehatan Dunia, mereka bebas dari pemeriksaan lebih lanjut.

Meski negara tersebut sudah mengizinkan pelancong dari sesama negara zona Schengen yang memegang sertifikat vaksinasi, langkah tersebut sekarang berlaku untuk semua pelancong.

Islandia, meski bukan negara anggota Uni Eropa, memiliki hubungan dekat dengan wilayah tersebut dan merupakan bagian dari zona pergerakan bebasnya.

Komisi mengusulkan untuk membuat Digital Green Certificate, untuk memberikan kepastian bahwa seseorang telah divaksinasi COVID-19, mendapat hasil tes negatif, atau sembuh dari virus tersebut.

Sertifikat ini pun akan tersedia gratis, dalam format digital atau kertas.

Sertifikat vaksinasi akan didasarkan pada suntikan yang disetujui oleh European Medicines Agency (EMA), seperti dilansir Euro News.

6. Thailand

Komite nasional penyakit menular di Thailand telah memberikan lampu hijau pada usulan izin melakukan perjalanan bagi mereka yang telah diaksinasi COVID-19.

Dikutip dari Bangkok Post, Menteri Kesehatan Masyarakat Thailand Anutin Charnvirakul mengatakan, mereka yang mendapatkan dua dosis suntikan vaksin Sinovac akan menjadi yang pertama menerima sertifikat vaksin COVID-19.

Jika warga Thailand ingin pergi ke luar negeri, mereka dapat menggunakan sertifikat tersebut untuk mengajukan paspor vaksin selama satu tahun atau kartu kuning dalam format cetak atau digital dengan biaya 50 baht.

Langkah ini diluncurkan di hari yang sama ketika Cina meluncurkan paspor vaksin COVID-19 bagi warga mereka untuk bepergian di dalam dan luar negeri.

Serifikat ini juga diluncurkan untuk mempromosikan pemulihan ekonomi dan perjalanan lintas batas, tetapi belum adanya indikasi bahwa pihak berwenang di negara lain akan menerima paspor tersebut.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat