uefau17.com

TNI Boleh Berbisnis: Janji Tak Ganggu Tugas Pokok Prajurit - News

, Jakarta - Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengusulkan revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI atau revisi UU TNI, yang akan dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Salah satu usulan yang mengejutkan adalah penghapusan larangan bagi prajurit untuk berbisnis.

Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigjen TNI Nugraha Gumilar menjelaskan bahwa usulan penghapusan Pasal 39 poin C ini dilatarbelakangi oleh keberadaan prajurit yang memiliki usaha kecil, seperti pertanian, peternakan, perkebunan, atau warung kelontong.

"Usulan penghapusan pasal 39 poin c, dengan pertimbangan ada prajurit yang punya usaha pertanian, peternakan, perkebunan, warung kelontong dan lain-lain," kata Gumilar saat dihubungi.

TNI meyakinkan bahwa penghapusan aturan larangan bisnis ini tidak akan mengganggu tugas pokok TNI. "Prajurit yang memiliki usaha tidak menjalankan usahanya seorang sendiri sehingga tidak mengganggu tugas sebagai prajurit," tegas Gumilar.

Alasan di Usulan TNI Boleh Berbisnis

Usulan revisi ini muncul dari Kababinkum TNI, Laksamana Muda Kresno Buntoro, dalam dengar pendapat publik RUU Perubahan TNI. Kresno menilai bahwa larangan prajurit berbisnis terlalu ketat dan mencontohkan kasus istri atau keluarga prajurit yang memiliki warung kecil.

"Pasal 39 ini mungkin kontroversial, tapi bapak ibu, istri saya itu punya warung di rumah, buka warung. Kalau ini diterapkan maka saya kena hukuman prajurit dilarang terlibat di dalam kegiatan bisnis," ujar Kresno.

Kresno menekankan bahwa yang seharusnya dilarang adalah penggunaan institusi TNI untuk berbisnis, bukan usaha pribadi para prajurit. Ia juga menyoroti pentingnya penghasilan tambahan bagi prajurit, dengan contoh sopirnya yang bekerja sampingan sebagai ojek.

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Setara Institute Kritisi Revisi UU TNI, Beberkan Sejumlah Alasannya

Organisasi Setara Institute yang menaruh perhatian terhadap demokrasi, menolak rencana pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

Disebut, revisi UU TNI ini semakin jauh dari niatan terhadap cita-cita reformasi. Mereka pun menyoroti Pasal 39 melalui penghapusan larangan berbisnis bagi prajurit TNI dan Pasal 47 yang membuka ruang perluasan bagi prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa melalui mekanisme pensiun dini.

 "Usulan perubahan pada dua Pasal ini berpotensi memutarbalikkan arah reformasi militer dan cita-cita amanat reformasi yang selama ini terus dirawat," demikian seperti dikutip dari keterangan Setara Institute, Senin (15/7/2024).

Disebut, usulan penghapusan larangan kegiatan bisnis bagi prajurit TNI dapat menebalkan keterlibatan prajurit TNI pada bidang-bidang di luar pertahanan negara. Jika sebelumnya hanya pada bidang sosial-politik, melalui usulan ini bertambah pada bidang ekonomi.

"Usulan ini dapat menjadi pintu masuk bagi kemunduran (regresi) profesionalitas militer, sebab memberi legitimasi aktivitas komersiil bagi prajurit TNI dan potensi pemanfaatan aspek keprajuritan untuk hal-hal di luar pertahanan negara," sebutnya.

Selain itu, argumentasi keniscayaan keterlibatan prajurit TNI berbisnis apabila anggota keluarganya berbisnis, seperti membuka warung, memperlihatkan ketidaksesuaian antara norma yang ingin dihapus dengan konteks yang diberikan. Keterlibatan prajurit dalam membantu anggota keluarga dalam konteks demikian tentu tidak berdampak terhadap penggunaan atribut dan/atau aspek keprajuritan lainnya, seperti kewenangan komando.

"Hal itu berbeda konteks dengan norma Pasal 39. Mencabut norma larangan berbisnis bagi anggota TNI sebagai dalam Pasal 39 justru dapat berdampak terhadap keterlibatan dalam aktivitas bisnis yang lebih besar, menjauhkan TNI dari profesionalitas, dan potensial menjerumuskan TNI ke dalam praktik-praktik buruk kegiatan bisnis, seperti menjadi beking sebuah entitas bisnis," bebernya.

3 dari 4 halaman

Timbulkan Hutang Budi Politik

"Oleh karena itu, yang dibutuhkan pada perubahan Pasal 39 adalah memberikan ketentuan lebih rinci mengenai definisi dan batasan bisnis yang dimaksud, misalnya dalam Penjelasan pasal tersebut, bukan dengan menghapus larangan terlibat dalam kegiatan bisnis bagi TNI," sambung Setara Institute.

Selain itu, penambahan ketentuan dalam pasal 47 ayat 2, jelas meruntuhkan pembatasan jabatan pada kementerian/lembaga (K/L) yang sebelumnya disebutkan secara spesifik.

"Naskah Akademik (NA) yang disusun juga memperlihatkan kemunduran paradigma mengenai Dwifungsi TNI. Dalam NA disebutkan bahwa penempatan TNI pada K/L dalam praktiknya tidak sebatas yang tercantum pada K/L di Pasal 47 ayat (2) UU TNI saja. Sebab terdapat perkembangkan kebutuhan SDM pada bidang-bidang tertentu, sehingga prajurit TNI dapat diperbantukan pada K/L yang memerlukan keahliannya," demikian.

Disadari, meskipun tidak berkaitan dengan politik praktis secara langsung, tetapi perluasan jabatan sipil bagi prajurit TNI dapat membuka ruang terjadinya politik akomodasi bagi militer.

"Dampak jangka panjangnya menimbulkan hutang budi politik karena semua ruang-ruang K/L tersebut dibuka berdasarkan kebijakan Presiden, yang notabene merupakan produk politik hasil kontestasi dalam Pemilihan Umum," jelasnya.

4 dari 4 halaman

Minta Ditunda

Berkenaan dengan catatan-catatan tersebut, SETARA Institute mendorong agar DPR RI menunda pembahasan Revisi UU TNI dan terlebih dahulu memperluas partisipasi bermakna publik, para pakar, akademisi, dan masyarakat sipil.

"Dalam pandangan SETARA, kepercayaan publik dan citra institusi TNI yang tinggi di mata publik harus terus dijaga dengan merawat dan melakukan penguatan agenda-agenda reformasi TNI, sehingga TNI menjadi tentara yang kuat dan profesional di bidang pertahanan negara," tutupnya.

Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, membenarkan pihak Istana telah meneriama Draf Revisi Undang-Undang tentang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) serta Undang-Undang Tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

Dia menyebut, draf tersebut diterima Kementerian Sekretariat Negara pada Jumat pekan lalu.

 "Betul, Revisi undang-undang terkait sudah diterima oleh Setneg hari Jumat siang minggu lalu," kata Dini, di Jakarta, Kamis (13/6/2024).

Dia mengatakan, pemerintah akan mengkaji draf revisi undang-undang inisiatif DPR itu sebelum Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengirimkan Surat Perintah Presiden (Supres) ke parlemen.

"Saat ini masih dalam penelahaan untuk proses selanjutnya," jelas Dini.

 

Reporter: Bachtiarudin Alam/Merdeka

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat