uefau17.com

Kisah Aisyah Istri Rasulullah Difitnah Selingkuh, Hikmah Mendalam di Baliknya - Islami

, Jakarta - Mendapat fitnah adalah pengalaman yang tidak menyenangkan dan bisa menimbulkan berbagai perasaan negatif.

Pertama-tama, mungkin ada perasaan kesal dan marah karena merasa tidak adil atau tidak pantas mendapat tuduhan yang tidak benar.

Perasaan frustasi dan kecewa juga mungkin muncul karena fitnah bisa merusak reputasi dan hubungan dengan orang lain.

Selain itu, mendapat fitnah juga dapat menimbulkan perasaan sedih atau terluka, terutama jika fitnah tersebut datang dari orang-orang yang dekat atau memiliki hubungan emosional dengan kita.

Rasa kehilangan kepercayaan dan rasa tidak aman juga bisa muncul akibat fitnah, karena hal tersebut dapat mengganggu hubungan sosial dan menyebabkan isolasi.

Rasulullah Muhammad SAW sendiri juga tidak luput dari fitnah yang dialamatkan kepadanya selama berdakwah. Pun, dengan Aisyah RA istri Rasulullah.

Namun, yang membedakan adalah cara beliau menghadapinya. Rasulullah SAW tidak membalas fitnah dengan dendam atau kemarahan, tetapi justru dengan sikap yang penuh kesabaran dan kebijaksanaan.

 

Simak Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kisah Fitnah Menimpa Rasulullah SAW dan Aisyah RA

Melansir Bincangsyariah.com, sebuah kisah yang menceritakan istri Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, yaitu Aisyah radhiyallahu anhu yang saat itu sempat mendapatkan tuduhan selingkuh dengan Shafwan bin Al-Mu’aththal As-Sulami.

Tuduhan perselingkuhan itu terjadi pada masa hidup Nabi Muhammad SAW dan tercatat dalam sejarah dengan peristiwa yang dikenal sebagai “Insiden Ifk” atau “Kebohongan”.

Pada suatu perjalanan kembali dari perang, rombongan Rasulullah SAW beristirahat di sebuah tempat yang disebut dengan Wadi al-Qura. Saat itulah, Aisyah tidak sengaja tertinggal saat perjalanan kembali ke Madinah.

Seorang sahabat yang diberi tanggung jawab untuk menjaga Aisyah, Safwan bin Al-Muattal, menemukan Aisyah dan membawa kembali ke Madinah dengan selamat.

Namun, kejadian tersebut dijadikan bahan oleh sebagian kaum munafik dan penentang Islam untuk menimbulkan fitnah terhadap Aisyah serta mengganggu kehormatan beliau. Tuduhan fitnah ini, yang menuduh Aisyah berbuat tercela dengan Safwan bin Al-Muattal, menyebar luas di kalangan masyarakat Madinah.

Nabi Muhammad SAW, yang sangat mencintai Aisyah RA sangat terpukul oleh tuduhan tersebut. Namun, beliau tetap menunggu kebenaran dan bukti yang jelas sebelum mengambil tindakan apapun.

3 dari 3 halaman

Begini Cara Menghadapi Fitnah

Di samping itu, Aisyah merasa kebingungan harus berbuat seperti apa. Jika ia mengakui bahwa itu adalah fitnah, bisa jadi semua orang tidak akan mempercayainya karena tuduhan tersebut sudah menyebar secara luas. Akhirnya Aisyah memutuskan untuk diam saja dan menunggu pertolongan dari Allah SWT.

Kemudian Allah memberikan bukti kebenaran dalam bentuk wahyu yang turun dan membebaskan Aisyah dari tuduhan tersebut melalui Surat An-Nur ayat 11 yang berbunyi:

إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar” (QS. An-Nur: 11).

Melalui kisah inilah dapat kita ambil sebagai pelajaran berharga, ketika mendapatkan tuduhan atau fitnah dari orang lain, sebaik-baiknya sikap yang harus diambil ialah diam tanpa melakukan pembenaran.

Menghadapi fitnah dengan diam melibatkan pemilihan untuk tidak memberikan reaksi yang berlebihan atau sebaliknya menanggapi fitnah dengan tenang dan dengan minim intervensi. Diam juga dapat dilihat sebagai kebijakan non-partisipasi dalam perang kata atau konflik verbal.

Dengan tidak memberikan reaksi terhadap fitnah, seseorang dapat menghindari memperburuk situasi dan mengurangi kemungkinan eskalasi konflik. Dalam konteks ini, diam bukan dianggap sebagai tanda kelemahan, tetapi tindakan yang cerdas untuk mempertahankan kedamaian dan keharmonisan.

Demikian penjelasan tata cara Rasulullah menghadapi fitnah yang pernah menimpa Aisyah. Semoga kita bisa belajar dari nabi dan terjauh dari fitnah yang kejam. Wallahu alam.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat