uefau17.com

Menguak Kritik Stan Lee soal Rasisme yang Relevan hingga Saat Ini - Global

, Los Angeles - Menjelang akhir dekade 1960-an, komikus terkemuka asal Amerika Serikat (AS), Stan Lee, menuliskan buah pemikirannya yang berisi tentang kritik terhadap rasisme. Kritik itu pun terus relevan hingga saat ini.

"Kefanatikan dan rasisme adalah salah satu penyakit sosial paling mematikan yang menjangkiti dunia saat ini," tulis Stan Lee kala itu, sebagaimana dikutip dari The Washington Post pada Selasa (13/11/2018).

Komikus pencipta tren pahlawan super ini menulis kata-kata tersebut pada 1968, tahun ketika Martin Luther King Jr dan Robert F Kennedy dibunuh. Namun pesannya --kutukan yang tajam terhadap kebencian rasial, etnis dan agama-- akan bergema selama beberapa dekade.

Tahun lalu, di tengah kekerasan yang dipicu oleh kampanye nasionalis kulit putih di Charlottesville, Stan Lee berbagi kata-kata yang sama di Twitter, menulis bahwa pemikirannya tentang rasisme "benar serupa dengan yang terjadi pada 1968".

Pemikiran Lee kembali mengemuka pada Senin 12 November 2018, ketika tersiar kabar bahwa sang visioner menghembuskan napas terakhir pada usia 95 tahun. Ia dikenal luas sebagai kreator, penulis, dan editor yang menciptakan banyak karakter ikonik di Marvel Unniverse, jagat fiksi paling menguntungkan saat ini, menurut analisis PricewaterhouseCoopers.

Menjelang akhir 1968, Stan Lee yang muncul dalam kolom bulanannya bertajuk "Stan's Soap Box", dia menyatakan hal berikut: "Cepat atau lambat, jika manusia layak menjadi takdirnya, kita harus mengisi hati dengan toleransi."

Kata-kata di atas adalah bagian dari sejarah panjang Stan Lee dalam menghadapi dan mencela kefanatikan, warisan yang terkait erat dengan kisah-kisah dalam komik Marvel.

"Marvel selalu dan selalu akan menjadi cerminan dari dunia di luar jendela kita," kata Lee dalam sebuah video yang viral tahun lalu.

"Dunia mungkin berubah dan berkembang, tetapi satu hal yang tidak akan pernah berubah adalah cara kita menceritakan kisah kepahlawanan kita."

"Cerita-cerita itu memiliki ruang untuk semua orang, tanpa memandang ras, jenis kelamin, atau warna kulit mereka," lanjutnya.

"Satu-satunya hal yang tidak kita miliki adalah kebencian, intoleransi, dan kefanatikan.”

 

Simak video pilihan berikut: 

 

* Follow Official WhatsApp Channel untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Karya untuk Mengkritik Ketimpangan

Stan Lee dan rekan kreatifnya, Jack Kirby, menciptakan karakter Black Panther pada tahun 1966. Ini merupakan seorang raja Afrika yang memerintah negara kaya dan berteknologi maju bernama Wakanda.

Di sisi lain, sosok tersebut juga menjadi seorang pahlawan super berkulit hitam pertama di dunia.

Namun berbagai karakter Marvel lainnya menyinggung isu rasialisme di AS. Mutan X-Men menghadapi diskriminasi, dan ada referensi untuk pemimpin hak-hak sipil terkemuka pada sosok Profesor Xavier, yang dilihat layaknya seorang Raja, dan musuh besarnya, Magneto, yang bersifat militan.

"Saya selalu merasa X-Men, dengan cara halus, sering menyentuh subyek rasisme dan ketidaksetaraan, dan saya percaya bahwa hal itu telah muncul dalam judul lain juga," kata Lee Michael Cavna, seorang pemerhati isu sosial sekaligus kolumnis pada koran The Post.

Dalam salah satu kolom "Stan's Soap Box" lainnya, Lee mengakui selama bertahun-tahun, ia dan timnya telah mencoba menggambarkan bahwa cinta adalah kekuatan yang jauh lebih besar daripada kebencian.

"Dia (cinta) dibesarkan oleh Kristus, Buddha, dan Musa, orang-orang yang damai. Mereka yang pikiran dan perbuatannay telah memengaruhi banyak orang, yang tak terhitung jumlahnya, selama berabad-abad, dan kehadirannya masih dirasakan di setiap sudut Bumi hingga saat ini," tulis Stan Lee.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat